"Ningsih, besok pakai baju baru ya" Ucap Bu Laksmi sambil menyodorkan baju putih yang masih baru dan terang. Nampaknya pihak sekolah sudah tau jika Ningsih adalah orang susah. Kebetulan Ningsih hanya punya satu set seragam merah putih. Tak ayal karena sering dipakai dan dicuci, seragamnya pun terlihat lusuh dan agak menguning di bagian kerahnya. Ningsih nampak senang.
      Di lain tempat, Bu Lilik guru honer yang menjadi wali kelas 5 nampak sedang memarahi seisi kelas yang berisik. Beliau terkenal galak dan sering marah-marah tanpa sebab. Sudah dipastikan jika beliau mengajar maka kelas seketika hening tanpa suara. "Ibu tuh dah capek marah-marah ke kalian, coba belajar yang bener kalo gak ada guru" . Di bangku pojok, seorang murid berbisik pada temannya "emang ibu ngajarnya udah bener, orang kelasnya sering ditinggal". Lalu teman disampingnya pun tertawa terkekeh-kekeh.
      "Randi maju kedepan, kalo ada guru di depan tolong dengerin" bentak Ibu Lilik lalu menyuruhnya ke depan lalu menjewer telinganya. Randi pun jengkel karena cuma ia yang dijewer, tidak dengan teman sebelahnya Abil.
      Kembali ke ruangan perpustakaan. Ningsih sangat khusyuk mengerjakan soal-soal tes. Dia mulai dari soal ulangan semester kelas 4. Terlihat di tangan Bu Laksmi memegang banyak cetakan soal ujian dari berbagai tahun yang berbeda soalnya. "Nanti ibu carikan lagi, kerjakan dulu yang ada disini" . Jayadi dan Ningsih termasuk orang yang beruntung. Sibuknya mereka di perpus menjadi suatu kedamaian dibanding harus belajar di kelas yang penuh kemonotanan dan ocehan Ibu Lilik yang tak berujung.
      Sedari awal masuk kelas 5. Banyak anak-anak yang menjadi gusar dengan pelajaran. Bukan tanpa sebab, semua itu dampak pengajaran dari wali kelas yang kurang kompeten. Bu Lilik, wali kelas 5 yang nampaknya cantik dan baik ternyata adalah sosok yang judes dan galak. Ia lebih sering terlihat asik menelpon di kelas lalu keluar mencari angin. Mungkin di kelas tak sampai 10 menit, hanya mengajar sekenanya lalu beralih untuk mengerjakan soal. -Buka halaman sekian-
      Pernah dua minggu yang lalu , Ningsih memakai buku LKS fotocopy di kelas. Dengan angkuh dan mulut pedasnya Bu Lilik berkata " Loh kok difotocopy?, kenapa gak beli langsung di sekolah?". Karena hal itu Ningsih mengulang mengerjakan soal di buku tulisnya dengan menyalin soal dari awal.
      Ningsih tetap bersikap seperti biasa, ceria tanpa beban. Ia yakin, terpilihnya ia menjadi peserta lomba merupakan amanat yang harus dijaga. Dua minggu berlalu, Ningsih makin terasah dengan soal matematika yang ia jumpai. Soal kelas empat dan lima sudah dilibas habis. Sekarang tinggal soal ujian kelas enam dan ujian akhir sekolah. Ia banyak bertanya bila kesusahan menemukan jawaban.
      Momen yang ditunggu-tunggupun datang, kompetisi MIPA antar kecamatan Sinar Pagi pun dimulai. Ada sekitar 15 perwakilan sekolah yang terdiri dari dua orang tiap sekolah. Satu mewakili IPA dan satu mewakili Matematika. Dalam barisan upacara pembukaan, Ningsih tampak berdiri paling depan, hatinya berdebar-debar. Antara senang dan tegang.  Baru kali ini dia mengikuti lomba. Bu Laksmi yang sedang diseberang lapangan. Di jajaran tamu undangan tampak berdiskusi dengan kepala sekolah Bu Ida.
      Lomba dibagi dalam tiga babak. Babak pertama yaitu pilihan ganda sebanyak 50 soal. Sedangkan babak kedua berupa soal essay dan babak ketiga berupa pemahaman praktik. Ningsih membawa peralatan tulis yang bagus, baru kemarin dibeli olehnya.  Babak pertama dimulai, soal mulai dibagikan. Terlihat penjumlahan pecahan, materi menghitung volume kubus. Nampak mudah baginya. Tak disangka ia selesai lebih dahulu daripada yang lain. Selang lima menit setelah bel. Babak kedua dimulai. Soal berupa essay. Tak ada hambatan saat ia mengerjakan.
` Â Â Â Â Â Dibalik ruangan itu, nampak para guru sebagian sedang berbincang. Pa Aryo, seorang kepala sekolah dari SDN Pagi Buta. Dengan ciri khas tai lalat di bibir bawahnya. Dia seperti berbincang pada salah satu panitia. "Kami sangat mengapresiasi panitia atas undangannya, ini ada sedikit tanda terimakasih , tolong terima ya" Ucap Pa Aryo sambil memasukkan amplop coklat yang tebal ke saku panitia itu. "Citra sekolah kami makin hari makin cemerlang, tolong dibantu ya pak hehehe". Tambahnya.
      Panitia itu agak kaget saat menerima amplop dari Pak Aryo. Dia akhirnya paham maksud dari Pak Aryo yang memberi kedipan kode. Berbicara tentang SDN Pagi Buta, sekolah itu memang terkenal elit sekecamatan Sinar Pagi, kebanyakan murid yang mendaftar disana adalah anak-anak dari para pengusaha dan konglomerat. Di satu sisi Ningsih bertaruh kehormatan sekolahnya dengan peserta lainnya. Di barisan paling depan kiri, peserta dengan rompi biru yang mentereng dan membawa peralatan tulis bak perkakas rumah tangga. Dia adalah Robert perwakilan dari SDN Pagi Buta.