Babak kedua sudah usai, tibalah babak ketiga setelah istirahat selama 20 menit. Ningsih membawa bekal dari ibunya. Nasi goreng bekas nasi tadi malam dihiasi telor ceplok. Dia memakannya dengan lahap. Bu Laksmi yang duduk disamping anak itu terharu melihat Ningsih yang sangat sederhana. Dia tak memberitahu rekan guru yang lain kalau seragam yang dipakai Ningsih adalah inisiatifnya sendiri. "Semoga kamu dapat juara satu ya nak" gumam Bu Laksmi dalam hati.
      Babak ketiga pun dimulai. Kali ini adalah pengetesan pemahaman terhadap teori. Disana murid diminta untuk menjelaskan volume tiap bangun ruang. Setelah itu tiap-tiap murid diwajibkan membuat kerangka bangun ruang itu dengan bahan yang sudah disediakan. Tentunya membuat bangun ruang macam limas, prisma, tabung perlu perhitungan yang akurat agar presisi hasilnya. Namun semua itu telah disiapkan oleh Ningsih. Ia telah berlatih dengan memakai kardus bekas dirumahnya. Termasuk Robert, dia juga mempersiapkan segalanya. Tapi pada saat presentasi, rupanya ia sangat kaku, hampir menangis. Entah setan apa yang merasukinya. Tiba-tiba diam lalu bersuara dan penjelasannya tidak masuk akal. Sepertinya ia mengalami anxiety yang hebat. Saat sesi pembuatan bangun ruang pun begitu. Tangannya tak luwes seperti bergetar, hasilnya pun seperti dugaan. Tidak simetris dan banyak meleot sana-sini.
      Keesokan harinya, Ningsih dipanggil oleh Bu Ida ke kantor. Bu Ida memberikan selembar kertas linen. Disana tertulis "Sertifikat Penghargaan Juara II Matematika se-Kecamatan Sinar Pagi". Mata Ningsih pun berbinar-binar bangga dan senang. "Yeay aku menang ya Bu? Ibuku pasti seneng banget". Seru Ningsih dengan bahagia.
      Ningsih masuk kelas seperti biasa, teman-teman dekatnya berdecak kagum dan memberinya ucapan selamat. Bel pun berbunyi menandakan pergantian pelajaran. Bu Lilik masuk menenteng tumpukan buku LKS yang masih baru. Beliau pun memberikannya pada Ningsih. "Ini hadiahnya, selamat ya, dah jangan pake yang fotocopy-an lagi!" ucapnya judes. "Baik Bu, Terimakasih bukunya". Ningsih pada akhirnya menerima meskipun tau jika buku LKS fotocopy-annya akan terbuang sia-sia. Perlu jerih payah bagi Ibu Ningsih untuk memfotocopy semua  LKS itu.
      "Sayang kali kau nak Ningsih, padahal mestinya kau bisa juara satu, penjelasanmu yang gamblang, nilaimu yang hampir sempurna, entahlah bagaimana panitia menilai para peserta" Ucap Bu Laksmi lirih memandang Ningsih dari kejauhan yang sedang bercengkerama depan teman kelasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H