Â
"Hitam , dia yang berbaju hitam , duduk di bangku hitam , menopang lengan diatas meja hitam ,hitam !!!!!!!"
      Suara menggelegar terdengar dari pojok kelas , suara yang sangat khas dan sangat familiar dikalangan santri di pondok itu.
      "Berisik banget sih ,mentang-mentang mau tampil " Sergah Ubed yang nampak kesal dan jengkel mendengarnya.
      "Begitulah kalau sudah ditunjuk oleh panitia , semangatnya bukan main , ane aja sampe terheran-heran sama dia bed " Timpal Subhan.
      Pondok sebentar lagi akan merayakan dirgahayu kemerdekaan RI . Seperti tahun-tahun sebelumnya pondok Tanwirul Qulub akan menjadi pusat acara setingkat desa dan tentunya akan banyak tamu undangan yang hadir entah dari instansi pemerintahan maupun sekolah lainnya.
      Fandi seketika ditunjuk oleh panitia. Dia diberi mandat untuk mendeklamasikan puisi bertema kemerdekaan . Tawaran itu langsung ia terima dengan senang hati .Jiwa sastranya nya sangat menggebu-gebu  terlebih ia pernah menjuarai lomba teater untuk desanya .
      Dengan cepat setelah turunnya perintah , ia ambil langkah seribu untuk membuat teks puisi . Betul saja dia berlari kekelas sambil membawa buku khususnya dan secarik kertas .
      "Aku harus bisa dan pasti bisa , tak ada kata tidak bisa dalam kamus Sufandi" Gumamnya dalam hati.
      "Tapi kira-kira apa ya? , perkara yang asik untuk dibuat puisi " Kali ini ia berbisik untuk dirinya sendiri.
      " Aha , tentang keadilan kayanya cocok deh " Bisiknya lagi. Fandi telah menemukan bait pertama puisinya , disana tertulis " Yang berjas hitam"