Pada suatu malam bersama seorang kawan Iben, kami berkunjung ke kediaman bapak Iman Budi Santosa, berbincang dan berdiskusi. Tempat tinggalnya (dulu ) sekitar 5 Km dari Stasiun Lempuyangan, tepatnya di Kelurahan Baciro. Di tengah perbincangan kami, terdengar suara roda kereta api yang bergesekan dengan besi baja --rell-- cukup keras dan lambat laun menghilang. Lalu, sastrawan itu bertanya kepada kami, mengapa sampai terdengar suara kereta api itu? Kami sebagai mahasiswa (dulu), menjawab pertanyaannya menggunakan berbagai teori, mulai dari teori rambatan, getaran, teori fisika dan sebagainya. Mungkin biar kelihatan inteleknya.
Sembari menghisap kretek, Pak Iman Budi Santosa, hanya tertawa ringan (entah mengejek atau apa, kami tidak tahu) dan menerawang, tampak seperti orang sedang berfikir. "Kalau kalian tidak punya telinga, bisa terdengar nggak suara kereta api tadi?” tanyanya. “Padahal, jawabannya sederhana karena kita punya telinga," jawabnya kembali tertawa renyah. Kami pun ikut tertawa, mengiyakan ucapannya. Walaupun jawaban kami tidak salah, tetapi terlalu panjang lebar.
Kesimpulannya: Kita terlalu sering memikirkan hal-hal yang dianggap besar, sehingga melupakan hal yang kecil, tapi teramat penting.
Kita sering melupakan sesuatu yang sederhana. Iya seperti kata Tawan, bahwa tangan robot ciptaannya itu sangat sederhana sekali, tidak begitu canggih. Tapi, orang-orang pintar itu justru meributkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H