Mohon tunggu...
Janet Wakanno
Janet Wakanno Mohon Tunggu... Penulis - janet

Pelajar yang menyukai sastra dan gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cangkir Tua

1 November 2021   19:56 Diperbarui: 1 November 2021   20:10 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kacau. Semua kacau."

Seorang lelaki kumal bertubuh tinggi kurus memasuki kedai, kebingungan. Ia menepuk-nepuk tengkuknya sembari berjalan mendekati lelaki lain yang tengah duduk membaca koran. Tangannya yang besar ia tangkupkan pada meja dan kemudian menggeleng-geleng kepalanya.

"Ada apa?" lelaki yang membaca koran bertanya, tenang.

"Mungkin memang sudah seharusnya." Ucap lelaki kumal, "Takdirku menjadi miskin. Sudah seperti itu."

Aku tidak tahu pasti, tapi sepertinya kedua lelaki ini cukup dekat. Yang satu penuh keputusasaan, sementara yang lain penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Aku tidak tahu pasti. Sebab aku hanya sebuah cangkir tua yang terpajang pada rak dinding kedai. Antik dan berdebu. Para manusia menyebutku berharga. Sebab bagi mereka, aku memiliki nilai tinggi dan sulit ditemukan.

Sebagai cangkir tua, aku telah menyaksikan banyak hal yang terjadi di kedai ini. Terlalu banyak. Rahasia setiap pengunjung. Bahkan aku mengetahui apa yang disimpan oleh Paolo, pemilik kedai, di ruang bawah tanah. Sebongkah berlian dan sejumlah uang. Namun aku tidak akan bisa menceritakannya pada siapapun, atau bahkan diam-diam mengambil dan menggadaikannya.

Ah, andai saja aku manusia. Andai saja.

Kedai ini tidak begitu ramai pada hari selasa dan jumat siang. Kau bahkan bisa menghitung jumlah pengunjung dengan jari-jari tangan manusia. Tetapi jangan tanya apakah ramai pada jam lain. Karena selain kedua hari itu, pengunjung selalu banyak. Bahkan aku sering melihat Thea, sang pelayan kewalahan melayani para pengunjung.

Pernah suatu hari aku mendengar Thea berbisik pada temannya. Ia berencana berhenti dan kembali ke kampung halamannya. Dari apa yang Thea katakan, ibunya sudah tua dan tengah sakit. Sehingga Thea harus pulang merawat ibunya.

"Uang yang aku kumpulkan dengan bekerja dua tahun disini sudah cukup." Begitu kata Thea. Aku, entah mengapa, tersenyum sendu. Manusia menua dan kesehatannya akan mulai terganggu. Namun mereka memiliki seseorang disana. Yang menjaga dan merawat mereka. Aku menoleh tubuhku. Cangkir putih ini dulu bersih dan sering terisi teh hangat. Tapi tidak sekarang. Aku telah tua dan berdebu. Pada sudut bibirku terdapat pecahan. Sedikit. Aku ingat, saat itu Paolo mengeluarkanku dari kardus, dan tanpa sengaja menabrak piring yang tampak seusia denganku.

"Ceroboh." Batinku kala itu.

Paolo memang ceroboh. Kau akan setuju denganku apabila melihat langsung. Ia sering memecahkan piring atau gelas. Melupakan kunci mobil atau kunci rumah. Dan yang baru-baru ini terjadi, Paolo lupa mengunci pintu kedai. Untung saja, aku terjaga sepanjang malam. Berjaga-jaga agar tidak ada orang yang masuk mencuri. Setidaknya, jika seseorang datang, aku bisa menjatuhkan diriku dengan sengaja pada puncak kepala mereka. Walau akibatnya aku akan hancur berkeping-keping. Namun, begitulah nasib cangkir tua. Kau hanya akan menunggu. Menunggu kapan kau menjadi kepingan-kepingan halus yang kelak akan disapu oleh manusia sebagai sampah.

Aku sering menyaksikan kejadian itu. Bahkan saat aku masih muda.

Rasanya sudah berpuluh-puluh tahun lalu. Aku masih menjadi milik pasangan muda yang penuh kasih. Suatu hari mereka memiliki seorang anak perempuan. Kecil dan gesit. Tangannya yang penasaran selalu menyentuh apa saja. Bahkan cangkir putih yang adalah temanku. Awalnya semua terkendali. Hingga akhirnya cangkir itu meleset dari tangan si anak dan terjatuh pecah begitu saja. Menjadi kepingan yang membahayakan manusia.

Si ibu berlarian menjauhkan anaknya dari kepingan temanku, sang cangkir. Aku tidak bisa menangis seperti manusia. Namun perasaan sedih itu menjalar pada tubuhku. Temanku hancur begitu saja, dan manusia menjauh takut darinya. Dari kami.

Itu pertama kali aku menyadari. Kepingan kecil seperti itu, bisa menjadi berbahaya kelak. Aku yang biasa dekat sekali dengan manusia, ketika menjadi kepingan kecil dan tajam, pada akhirnya akan dijauhkan oleh manusia.

Andai saja aku manusia.

Jika aku manusia, mungkin aku akan bilang kepada manusia lain, "Mereka tidak berbahaya. Mereka hanya kepingan kecil." dan aku akan memungut kepingan itu, berterima kasih, dan membuangnya dengan layak pada tempat sampah.

Aku tersenyum setiap kali berandai-andai menjadi manusia. Ada-ada saja. Cangkir tua sepertiku terlalu banyak mimpi. Manusia adalah manusia. Dan aku adalah aku. Tidak ada siapa yang bisa menjadi siapa. Mereka adalah diri mereka sendiri.

Pernah suatu sore di kedai ini. Hujan memenuhi kota. Menutupi langit dengan awan kelabu, sehingga tiada cahaya mentari sore yang masuk menembus jendela kedai. Seorang wanita dan temannya tengah berbincang. Diselimuti tangis serta kesepian, sang wanita berkata pada temannya,

"Andai aku tidak terlahir di dunia."

Aku menggeleng-geleng. Manusia itu tidak tahu diuntung. Tidak hanya ia yang merasa kesepian. Masih banyak jiwa-jiwa kesepian di luar sana. Setidaknya sang wanita masih memiliki teman untuk diajak bicara, serta secangkir teh untuk menghangatkan. Namun tidak denganku. Aku kesepian dan akan selalu seperti itu. Tiada orang untuk aku tumpahkan apa yang aku lihat atau dengar. Maka bukan hanya sang wanita yang kesepian. Haruslah ia bersyukur telah dilahirkan. Mungkin kehadirannya telah mengisi kesepian orang lain, hanya saja, ia tidak menyadarinya.

*

Suatu hari, seorang pria datang bersama anak gadis kecilnya. Mereka duduk tidak jauh dari pandanganku. Kala itu kedai sepi, sehingga aku dapat mendengar perbincangan mereka dari tempat aku duduk.

"Apa boleh aku tahu, apa yang terjadi pada ibu?" si anak bertanya.

"Celine, sebelum menjawab pertanyaanmu, ada yang ingin ayah katakan." Sang ayah menatap anaknya. "Dalam hidup, manusia pasti akan datang dan pergi untuk selamanya. Semua hanya masalah waktu. Menunggu. Menanti kapan waktu kita masing-masing untuk pergi. Waktu ibu telah tiba. Ibu telah menghabiskan banyak waktu di dunia, dan kini waktunya ibu pergi untuk selamanya."

"Jadi ibu pergi. Untuk selamanya. Tetapi kemana?"

"Surga. Tempat yang begitu indah dan penuh kedamaian. Ibu telah menjadi salah satu bidadari penghuni surga."

Aku tidak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Tapi sepertinya aku memahami sesuatu. Manusia dan cangkir tua sepertiku tidak ada bedanya. Kita semua hanya menunggu. Walau mungkin aku menghabiskan waktuku menunggu di balik rak dinding ini sementara manusia sembari berjalan menyusuri pantai. Namun sesederhana itu perbedaan diantara kita.

*

Aku memandang ke depan. Hari mulai gelap. Pengunjung berlalu keluar masuk pintu kedai. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat Paolo. Aneh. Biasanya pada jam seperti ini, Paolo akan datang dan duduk di pojok ruangan. Sesekali ia membahas sesuatu dengan pegawai kedai. Kini pojok ruangan itu terisi orang lain. Sepasang muda mudi yang duduk berhadapan sembari berbincang.

Pada sisi lain ruangan, seorang wanita muda duduk. Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Sebuah buku tebal serta headset tertancap pada telinganya. Entah apa yang ia dengar, kaki wanita itu terus menghentak-hentak pelan pada lantai.

Di luar kedai, cahaya rembulan bersinar rendah. Diiringi lampu kota yang berjejer, mereka bersama-sama menerangi jalanan yang mulai sepi. Aku berandai-andai bagaimana rasanya berjalan sendiri menikmati udara malam yang dingin. Aku mungkin akan membeli sekotak pizza dan sebotol soda di seberang jalan untuk kunikmati sembari menonton film sepanjang malam.

Kendati demikian, aku terjebak disini. Dalam rak dinding ini sebagai pajangan. Aku hanya cangkir tua yang menunggu waktu untuk pecah. Tak memiliki kehidupan, terlebih harapan.

Hari semakin larut. Kedai telah kosong. Tak ada pengunjung, maupun para pelayan. Lampu kedai telah dipadamkan. Hanya satu lampu pada pintu depan yang menyala terang. Lampu itu berhasil menerangi kedalaman kedai samar-samar.

Dari balik pintu, aku melihat seseorang. Bersamaan dengan itu, suara pintu berderit. Ia adalah Paolo.

Paolo menyalakan lampu, menerangi seluruh isi kedai. Ia tidak tampak penuh semangat seperti biasanya. Sorot matanya sendu, sesendu malam yang penuh rahasia ini. Matanya menyapu sekeliling ruangan. Dan untuk pertama kalinya, tatapan kami bertemu. Paolo berjalan mendekati aku dan kawan-kawanku di rak dinding. Ia tersenyum hangat. Sungguh hangat hingga kau mungkin bisa merasakannya ke dalam relung hatimu.

Paolo meraih tanganku. Mengusap debu yang menempel pada tubuhku, kemudian berucap,

"Aku tidak menyangka," Paolo menatap, "Terlalu lama aku membiarkan debu menempel padamu."

Itu pertama kalinya Paolo berbicara denganku. Paolo mungkin tidak melihatnya, namun aku tersenyum. Tersenyum sungguh lebar. Aku bahagia.

Mungkin aku tidak memahami Paolo, dan Paolo tidak memahamiku. Namun aku adalah milik Paolo. Bertahun-tahun ada untuknya. Menyaksikan kalender pada sudut ruangan berganti setiap tahun.

Paolo mengembalikanku pada rak dinding. Kini ia diam memandang kedai, membelakangiku.

"Mungkin ini akhirnya." Paolo menghela nafas pelan, "Ini saatnya aku berpisah dengan tempat ini."

Sejak malam itu, aku tidak pernah melihat Paolo.

Kedai tutup beberapa saat. Aku mendengar perbincangan aneh beberapa pelayan kedai. Mereka menangis seraya mengucapkan sesuatu seperti, Paolo telah pergi.

Aku bingung. Apa mungkin yang diucapkan seorang ayah kepada gadis kecilnya benar bahwa waktu Paolo telah tiba? Tapi mengapa orang-orang itu harus menangisi kepergian Paolo?

Bukankah Paolo pergi ke tempat penuh kedamaian?

Jika memang benar, seharusnya mereka bersuka.  Paolo telah menemukan kedamaian yang manusia cari. Mungkin saja Paolo telah menjadi salah satu dari kumpulan bintang di langit malam. Ia telah berpendar bercahaya menemani rembulan yang selalu aku nanti tiap malam tiba.

Entah kapan aku akan berjumpa kembali dengan Paolo. Namun satu hal yang pasti, Paolo telah menemukan kedamaian abadinya. Suatu saat nanti aku juga. Cangkir tua ini akan tenggelam dalam impian-impian mustahilnya, menjadi serpihan yang penuh kedamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun