Di luar kedai, cahaya rembulan bersinar rendah. Diiringi lampu kota yang berjejer, mereka bersama-sama menerangi jalanan yang mulai sepi. Aku berandai-andai bagaimana rasanya berjalan sendiri menikmati udara malam yang dingin. Aku mungkin akan membeli sekotak pizza dan sebotol soda di seberang jalan untuk kunikmati sembari menonton film sepanjang malam.
Kendati demikian, aku terjebak disini. Dalam rak dinding ini sebagai pajangan. Aku hanya cangkir tua yang menunggu waktu untuk pecah. Tak memiliki kehidupan, terlebih harapan.
Hari semakin larut. Kedai telah kosong. Tak ada pengunjung, maupun para pelayan. Lampu kedai telah dipadamkan. Hanya satu lampu pada pintu depan yang menyala terang. Lampu itu berhasil menerangi kedalaman kedai samar-samar.
Dari balik pintu, aku melihat seseorang. Bersamaan dengan itu, suara pintu berderit. Ia adalah Paolo.
Paolo menyalakan lampu, menerangi seluruh isi kedai. Ia tidak tampak penuh semangat seperti biasanya. Sorot matanya sendu, sesendu malam yang penuh rahasia ini. Matanya menyapu sekeliling ruangan. Dan untuk pertama kalinya, tatapan kami bertemu. Paolo berjalan mendekati aku dan kawan-kawanku di rak dinding. Ia tersenyum hangat. Sungguh hangat hingga kau mungkin bisa merasakannya ke dalam relung hatimu.
Paolo meraih tanganku. Mengusap debu yang menempel pada tubuhku, kemudian berucap,
"Aku tidak menyangka," Paolo menatap, "Terlalu lama aku membiarkan debu menempel padamu."
Itu pertama kalinya Paolo berbicara denganku. Paolo mungkin tidak melihatnya, namun aku tersenyum. Tersenyum sungguh lebar. Aku bahagia.
Mungkin aku tidak memahami Paolo, dan Paolo tidak memahamiku. Namun aku adalah milik Paolo. Bertahun-tahun ada untuknya. Menyaksikan kalender pada sudut ruangan berganti setiap tahun.
Paolo mengembalikanku pada rak dinding. Kini ia diam memandang kedai, membelakangiku.
"Mungkin ini akhirnya." Paolo menghela nafas pelan, "Ini saatnya aku berpisah dengan tempat ini."