Mohon tunggu...
Janes addiction
Janes addiction Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Bukan gunung di depan untuk didaki yang membuatmu lelah, melainkan kerikil di sepatumu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Sang Nelayan

11 November 2021   08:24 Diperbarui: 11 November 2021   08:30 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nelayan. Sumber: pixabay

"Dalam perjalanan pulang dengan menaiki kapal Ferry pada waktu itu telah mempertemukan ku dengan seseorang. Seseorang yang selanjutnya memberikanku sebuah wawasan baru. Tentang sebuah realitas, membawaku dapat melihat persoalan dari sudut pandang lain"

Ketika aku telah tiba di pelabuhan Tanjung perak, di sana masih nampak lengang. Sengaja Ku edarkan pandangan ke seluruh arah untuk mencari sesuatu yang mungkin menarik, hingga beberapa menit berlalu belum juga nampak. 

Sampai pada suatu saat tepat di depan mata melintas pelan sebuah mini bus sarat penumpang menuju ke tempat parkir. Para penumpang turun satu persatu sambil menenteng barang bawaan masing masing. Semua pria dan rerata masih muda. Barang barang bawaan mereka sangat banyak dan nampak berat. 

Ku perhatikan mereka semua berjalan beriringan menuju ke dalam untuk mencari tempat duduk . Di sisi WC umum di sana kemudian mereka duduk menunggu. Segera setelah itu asap rokok membumbung tinggi mengepung udara pagi di selingi obrolan serta sedikit tawa. Suasana mendadak ramai. Pandangan tak sejenak pun aku lepaskan dari wajah maupun tubuh tubuh kekar mereka. Penampilan mereka sederhana, beberapa dari mereka yang hanya mengenakan kaus dalam nampak bertato pada lengan maupun di dada mereka. 

Sementara beberapa orang yang lebih muda lagi mengenakan rompi berwarna mencolok. Di dada kiri pada rompi terpampang gambar jangkar putih di lingkari oleh sebuah kalimat. Tidak begitu jelas, entah tulisan apa. Mungkin mereka rombongan nelayan yang akan berangkat melaut, pikirku pada akhirnya.

Kapal yang akan membawaku menuju rumah akhirnya tiba. Aku dan beberapa orang penumpang bergegas merapat ke dermaga. Kebetulan rombongan nelayan tersebut juga akan menaiki kapal yang sama. 

Sejak saat itu Entah apa yang membuat hasrat keingintahuan dalam hati muncul. Lalu Sengaja aku berjalan membuntuti rombongan dengan harapan tanpa sepengetahuan mereka. Tak lupa juga mereka membawa barang-barang bawaan di tangan masing-masing dan bersiap menaiki kapal. 

Karena jarak antara rombongan dan tempatku berdiri tak seberapa jauh hingga sayup-sayup terdengar pembicaraan yang mereka ucapkan. Tidak jelas tentang perihal apa, namun beberapa kali terdengar kata Cantrang. Ternyata yang kupikirkan sejak awal memang benar, mereka adalah orang-orang yang akan berangkat melaut. 

Karena kata 'Cantrang yang aku fahami selama ini adalah alat penangkap ikan yang bersifat aktif dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan. Dengan begitu aku lanjutkan kembali untuk memenuhi hasrat keingintahuan dalam hati dengan cara memilih tempat duduk di samping salah seorang dari rombongan. 

Di tengah perjalanan sengaja aku sempatkan untuk lebih jauh mengenalnya, dan bertanya tentang banyak hal. Mengorek semua informasi yang sebisa mungkin aku dapatkan. 

Tas punggung yang sejak tadi aku bawa sudah cukup untuk dijadikan sebagai alasan bahwa saat ini aku tengah menempuh proses pembuatan karya ilmiah. Ku beritahu bahwa di dalam tas terdapat banyak data hasil analisis,  Kendati pada mulanya ia sedikit ragu untuk menjawab setiap pertanyaan yang aku ajukan, namun setelah memperoleh penjelasan panjang lebar dengan di sertai permohonan sungguh sungguh agar ia bersedia  untuk menjawab, bahwasanya semua hanya untuk kepentingan terselesaikannya studi dan tentunya akan ada manfaat yang dapat di ambil oleh masyarakat, khususnya untuk masyarakat di sekitar nelayan tersebut tinggal.

Semua cerita dan jawaban yang ia utarakan kudengarkan dengan saksama. Dan pada akhirnya ia menceritakan tentang kisah hidupnya, sebelum melaut bersama rombongan dulunya dirinya sudah pernah melaut dengan perahu kecil dengan alat tangkap ikan sederhana. tak banyak hasil yang bisa dia dapatkan, istri nya banyak mengeluh tentang kebutuhan hidup yang semakin banyak. 

Seketika itu aku dapat menyimpulkan tentang hal terpenting dalam matapencaharian sebagai nelayan adalah teknologi penangkapan baik dalam bentuk alat penangkapan maupun alat bantu penangkapan seperti perahu. Ketergantungan nelayan terhadap teknologi penangkapan itu sangat tinggi. Sebenarnya para nelayan seperti dirinya selalu berusaha untuk memaksimalkan pendapatannya melalui usaha peningkatan teknologi. Akan tetapi hal demikian tidak selamanya dapat diwujudkan, hal ini terkait faktor modal yang relatif besar. Karena memiliki keterbatasan teknologi penangkapan oleh karena itu wilayah operasi pun menjadi terbatas, hanya di sekitar perairan pantai, selain itu ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap saat nelayan dapat turun melaut, terutama pada musim ombak yang bisa berlangsung hingga satu bulan lamanya, kondisi ini yang membuat rugi para nelayan.

Selain rendahnya teknologi alat penangkapan yang di miliki oleh para nelayan pada umumnya ada hal lain lagi yang harus dihadapi nelayan adalah tidak semua nelayan memiliki alat tangkap. Bagi nelayan yang demikian, tidak ada alternatif lain kecuali harus bekerja dengan orang lain yang membutuhkan tenaganya untuk menjadi buruh sang pemilik kapal atau juragan. 
Permasalahan tak selesai sampai di situ, permasalahan lainnya juga muncul tatkala minimnya hasil tangkapan karena hanya menggunakan alat tangkap ikan tradisional dan sistem bagi hasil yang dilakukan oleh para juragan juga cenderung kurang menguntungkan bagi nelayan buruh. Dalam beberapa kasus, dan ini yang paling sering terjadi bagi hasil itu dilakukan dengan sistem Fifty-Fifty. Artinya: sesudah hasil tangkapan di jual dan di kurangi untuk biaya operasi, sisanya di bagi dua antara si pemilik kapal dan nelayan buruh. 
Sistem bagi hasil seperti itu sepintas memang kelihatan adil. Namun jika dicermati lebih jauh sistem bagi hasil yang demikian sebetulnya sangat timpang. Memang benar nelayan buruh dapat bagian setengah seperti yang diperoleh juragan. Tetapi pada nelayan buruh pendapatan yang setengah itu harus di bagi lagi dengan banyaknya anggota yang ada. Jika dalam satu kelompok penangkapan terdiri dari enam anggota, maka akan di ketahui besaran pendapatan yang akan di peroleh, yakni sebesar seper-enam dari pendapatan si juragan. Jadi, semakin besar anggota kelompok penangkapan yang di miliki, maka ketimpangan dalam sistem bagi hasil itu semakin besar.
Sistem bagi hasil yang timpang itu pada kasus kasus tertentu masih diperparah dengan kewajiban nelayan buruh untuk ikut serta menanggung biaya penggantian alat tangkap ikan yang sudah rusak. Ini dapat dilihat pada sistem bagi hasil yang diterapkan pada perahu slerek di Muncar misalnya. Jika terjadi kerusakan mesin maupun jaring dan ternyata tidak dapat diperbaiki maka anggota buruh perahu slerek harus ikut menanggung setengah dari harga pembelian mesin maupun jaring yang baru. Hal itu tentu saja tidak fair, karena alat yang di beli itu sepenuhnya menjadi miliknya sang pemilik perahu. Itulah sebabnya kondisi ekonomi antara nelayan juragan dan nelayan buruh terdapat kesenjangan yang sangat besar.
Sementara itu kedua teman anggota rombongan yang sejak tadi hanya duduk tenang sambil memainkan gadget seterusnya mulai tertarik untuk ikut nimbrung juga ingin berbagi pengalaman kisah hidup.
Mereka menjadi lebih antusias. Lalu mempertanyakan tujuan ku, namaku, kegiatanku sehari-hari, beserta alamat rumah. Setelah berbasa-basi barang sebentar keduanya memulai membuka perbincangan. Mereka mengaku bahwasanya kisah hidupnya tidak jauh berbeda dengan teman teman yang lain. 

Dan ketika telah mengontak kembali Roni, seorang teman lama yang selanjutnya mengajaknya bekerja melaut bersama rombongan ini, barulah kemudian dengan perlahan masalah lilitan ekonomi mulai bisa diurai. Jika salah satu teman mereka menceritakan tentang kenangan kenangan pahit kisah hidupnya, teman yang satunya agak sedikit berbeda, ia bercerita mengenai besaran upah yang telah didapatkan saat ini bersama rombongan. Katanya upah yang di peroleh bisa dikatakan besar. 

Entah jujur atau tidak kudengarkan dari mulutnya yang di sumpal sigaret mengungkapkan jika ada uang berlebih dirinya suka ketempat tempat hiburan malam. Minum minum dan seterusnya. Aku memicingkan mata dan berkata "benarkah? Lalu di jawab dengan anggukan kepala dari ketiganya dan di akhiri dengan tertawaan.

Mereka hafal betul nama nama tempat hiburan malam yang pernah di kunjungi beserta rute menuju lokasi. Biasanya tempat semacam itu tidak secara langsung dapat terlihat sebagai tempat hiburan malam. Di depan tempat tersebut mungkin bisa saja nampak seperti toko perabot ataupun lainnya, setelah masuk kedalam barulah kita dapati bahwa tempat itu sebagai tempat minum dan hiburan, tentunya juga menyediakan banyak wanita penjaja kepuasan batin di sana. Wanita wanita yang paling banyak di jumpai biasanya datang dari Makkasar dan pulau pulau di luar Jawa. Mendengarkan itu semua Hasrat keingintahuan dalam hati akan hal baru ini terus berlanjut, untuk itu aku terus menyodorkan pertanyaan untuk dapat menyelidik. 

Dengan bahasa yang bercampur aduk mereka mencoba menarasikan bagaimana kerja keras semasa di lautan dan juga segi kehidupan mereka. Agak lama aku coba tangkap poin poin pentingnya.

Etos kerja yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran, kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan, apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian, terbuka dan ekspresif sehingga terkesan "kasar", solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama ataupun membantu sesama ketika menghadapi musibah, kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi, bergaya hidup konsumtif, demonstratif dalam harta benda (emas, perabot rumah tangga, kendaraan, bangunan rumah, dan sebagainya) sebagai manifestasi "keberhasilan hidup" Tempramental, khususnya jika mengenai harga diri. Begitulah poin poin yang dapat aku peroleh dari segi kehidupan sosial nelayan pada umumnya. 

Tak heran jika hiburan malam dan seks menjadi semacam sarana "peredam" atas kerasnya kehidupan mereka. Aku bertambah yakin karena jika melihat kembali fakta fakta sejarah melalui beberapa literatur tentang pelayaran juga tidak pernah terlepas dari ketiga hal ini, yakni: pelacuran, hiburan dan perjudian.  memang biasa dalam kehidupan para pelaut yang melakukan perjalanan untuk berdagang dari Benua Eropa sampai Asia tenggara. Pelabuhan-pelabuhan di Nusantara dahulu justru memanfaatkan kegiatan pelacuran untuk membuat pelabuhanya banyak di kunjungi para pelaut.

***

Perbincangan untuk barang sebentar berhenti. tak ada kata yang terlontar dari mulut kami berempat sebelum teman yang lain menanggapi tentang smartphone Herri yang baru saja di beli. Sengaja foto gadis cantik berpakaian coklat dilekatkan pada layarnya sebagai wallpaper. 

"Sudah, jangan di pandangi terus foto itu, lebih baik temui dia esok lusa. Ajak dia cepat cepat menikah, kalau kelamaan nanti bisa bisa di gaet sama orang lain" kata teman yang di sebelahnya. Sementara Herri tak tertarik untuk menanggapi. Dan hanya tersenyum.

Saya juga akhirnya ikut berkomentar, lalu Herri menjawab bahwasanya itu adalah foto pacarnya setengah tahun belakangan ini. Sebut saja namanya Essa, pacarnya itu sebelumnya pernah bekerja di tempat hiburan malam, Herri menaruh perhatian lebih karena Essa terlihat lebih cantik dan masih belia.  kala itu hanya Essa saja yang tidak mau di booking karena alasan masih berstatus sebagai pekerja baru. Ia penasaran lalu kemudian mencoba untuk mengorek informasi dari pacarnya tersebut. 

Dari penelusuran Herri ia memperoleh informasi bahwa pacarnya tidak diperbolehkan oleh si bos untuk menerima tamu sebelum ia dapat menjual minuman keras sebanyak target yang telah ditetapkan. Karena pada setiap botol miras yang akan laku terjual tersebut lima belas persen dari harga merupakan premi yang nantinya akan di setor setiap bulan.

Semakin banyak miras yang dapat di jual oleh Essa, maka semakin cepat pula dirinya segera mencapai target. Ketentuan itu di berlakukan oleh si pengelola tempat hiburan tersebut karena pada dasarnya para pengelola tempat hiburan tempat Essa bekerja di dominasi oleh para pengusaha baru yang bermodal minim, mereka bekerja sama dengan perusahaan minuman yang mencoba-coba untuk mencari peruntungan berbisnis di dunia hiburan. Pengelola tempat hiburan tersebut tentunya tidak mau di rugikan sebab dari edaran surat pemberlakuan ketetapan perusahaan induk yang menaunginya si pengelola hanya memperoleh penghasilan dari seberapa besar dapat menjual miras yang telah di stok oleh perusahaan.
Essa mengaku bahwa dalam lubuk hatinya yang paling dalam sebenarnya tidak mau memperoleh uang dengan cara seperti ini. Ia mengidamkan ingin seperti gadis gadis lain di kampungnya dulu. Melanjutkan Sekolah kejenjang yang lebih tinggi, dan ketika telah lulus nanti dapat di terima sebagai pekerja pabrik atau yang lebih baik lagi. 
Namun keberuntungan tidak berpihak kepadanya. Akhirnya Ia berpendapat bahwa kesulitan dalam mencari kerja yang ideal tidak hanya di hadapi oleh orang orang seperti dirinya, bagi fresh graduate pun juga kiranya sama. Angka lulusan sekolah yang begitu tinggi namun tidak di iringi dengan bertambahnya sektor lapangan kerja menjadi faktor penyebab utama. 
Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Essa memilih bekerja sebagai gadis penjaja kepuasan batin. Karena pada realitanya Di Indonesia sudah bukan rahasia lagi bila tuntutan kebutuhan ekonomi membuat banyak orang harus pintar dan jeli dalam mencari lapangan pekerjaan. Ribuan jumlah para pencari kerja pada tiap tahunnya, namun tidak disertai ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai.
Ada pencari kerja yang bermodalkan ijazah namun tak sedikit pula yang hanya bermodal kenekatan. Bagi yang berbekal ijazah dari jenjang pendidikan yang mereka miliki tentu mendapat keuntungan mengingat hampir pasti lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini mensyaratkan hal tersebut. Sementara sisanya harus bisa menyesuaikan diri dengan lapangan pekerjaan yang sama sekali tidak diharapkan dan diimpikan semenjak kecil. Seperti yang tengah di jalani oleh Essa saat ini.

Persoalan yang tengah di hadapi Essa sebetulnya tidak perlu terjadi apabila masalah minimnya lapangan pekerjaan telah teratasi, karena tempat di mana Essa sekarang bekerja merupakan pekerjaan yang tidak pernah tercatat dalam dokumen ketenagakerjaan, Perlu di ketahui pula bahwa jenis pekerjaan apalagi yang ilegal cenderung mempunyai resiko lebih besar di bandingkan dengan yang resmi. Karena Seperti halnya yang terjadi pada kasus pengiriman tenaga kerja ilegal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun