Mohon tunggu...
Janes addiction
Janes addiction Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Bukan gunung di depan untuk didaki yang membuatmu lelah, melainkan kerikil di sepatumu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Sang Nelayan

11 November 2021   08:24 Diperbarui: 11 November 2021   08:30 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nelayan. Sumber: pixabay

Tas punggung yang sejak tadi aku bawa sudah cukup untuk dijadikan sebagai alasan bahwa saat ini aku tengah menempuh proses pembuatan karya ilmiah. Ku beritahu bahwa di dalam tas terdapat banyak data hasil analisis,  Kendati pada mulanya ia sedikit ragu untuk menjawab setiap pertanyaan yang aku ajukan, namun setelah memperoleh penjelasan panjang lebar dengan di sertai permohonan sungguh sungguh agar ia bersedia  untuk menjawab, bahwasanya semua hanya untuk kepentingan terselesaikannya studi dan tentunya akan ada manfaat yang dapat di ambil oleh masyarakat, khususnya untuk masyarakat di sekitar nelayan tersebut tinggal.

Semua cerita dan jawaban yang ia utarakan kudengarkan dengan saksama. Dan pada akhirnya ia menceritakan tentang kisah hidupnya, sebelum melaut bersama rombongan dulunya dirinya sudah pernah melaut dengan perahu kecil dengan alat tangkap ikan sederhana. tak banyak hasil yang bisa dia dapatkan, istri nya banyak mengeluh tentang kebutuhan hidup yang semakin banyak. 

Seketika itu aku dapat menyimpulkan tentang hal terpenting dalam matapencaharian sebagai nelayan adalah teknologi penangkapan baik dalam bentuk alat penangkapan maupun alat bantu penangkapan seperti perahu. Ketergantungan nelayan terhadap teknologi penangkapan itu sangat tinggi. Sebenarnya para nelayan seperti dirinya selalu berusaha untuk memaksimalkan pendapatannya melalui usaha peningkatan teknologi. Akan tetapi hal demikian tidak selamanya dapat diwujudkan, hal ini terkait faktor modal yang relatif besar. Karena memiliki keterbatasan teknologi penangkapan oleh karena itu wilayah operasi pun menjadi terbatas, hanya di sekitar perairan pantai, selain itu ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap saat nelayan dapat turun melaut, terutama pada musim ombak yang bisa berlangsung hingga satu bulan lamanya, kondisi ini yang membuat rugi para nelayan.

Selain rendahnya teknologi alat penangkapan yang di miliki oleh para nelayan pada umumnya ada hal lain lagi yang harus dihadapi nelayan adalah tidak semua nelayan memiliki alat tangkap. Bagi nelayan yang demikian, tidak ada alternatif lain kecuali harus bekerja dengan orang lain yang membutuhkan tenaganya untuk menjadi buruh sang pemilik kapal atau juragan. 
Permasalahan tak selesai sampai di situ, permasalahan lainnya juga muncul tatkala minimnya hasil tangkapan karena hanya menggunakan alat tangkap ikan tradisional dan sistem bagi hasil yang dilakukan oleh para juragan juga cenderung kurang menguntungkan bagi nelayan buruh. Dalam beberapa kasus, dan ini yang paling sering terjadi bagi hasil itu dilakukan dengan sistem Fifty-Fifty. Artinya: sesudah hasil tangkapan di jual dan di kurangi untuk biaya operasi, sisanya di bagi dua antara si pemilik kapal dan nelayan buruh. 
Sistem bagi hasil seperti itu sepintas memang kelihatan adil. Namun jika dicermati lebih jauh sistem bagi hasil yang demikian sebetulnya sangat timpang. Memang benar nelayan buruh dapat bagian setengah seperti yang diperoleh juragan. Tetapi pada nelayan buruh pendapatan yang setengah itu harus di bagi lagi dengan banyaknya anggota yang ada. Jika dalam satu kelompok penangkapan terdiri dari enam anggota, maka akan di ketahui besaran pendapatan yang akan di peroleh, yakni sebesar seper-enam dari pendapatan si juragan. Jadi, semakin besar anggota kelompok penangkapan yang di miliki, maka ketimpangan dalam sistem bagi hasil itu semakin besar.
Sistem bagi hasil yang timpang itu pada kasus kasus tertentu masih diperparah dengan kewajiban nelayan buruh untuk ikut serta menanggung biaya penggantian alat tangkap ikan yang sudah rusak. Ini dapat dilihat pada sistem bagi hasil yang diterapkan pada perahu slerek di Muncar misalnya. Jika terjadi kerusakan mesin maupun jaring dan ternyata tidak dapat diperbaiki maka anggota buruh perahu slerek harus ikut menanggung setengah dari harga pembelian mesin maupun jaring yang baru. Hal itu tentu saja tidak fair, karena alat yang di beli itu sepenuhnya menjadi miliknya sang pemilik perahu. Itulah sebabnya kondisi ekonomi antara nelayan juragan dan nelayan buruh terdapat kesenjangan yang sangat besar.
Sementara itu kedua teman anggota rombongan yang sejak tadi hanya duduk tenang sambil memainkan gadget seterusnya mulai tertarik untuk ikut nimbrung juga ingin berbagi pengalaman kisah hidup.
Mereka menjadi lebih antusias. Lalu mempertanyakan tujuan ku, namaku, kegiatanku sehari-hari, beserta alamat rumah. Setelah berbasa-basi barang sebentar keduanya memulai membuka perbincangan. Mereka mengaku bahwasanya kisah hidupnya tidak jauh berbeda dengan teman teman yang lain. 

Dan ketika telah mengontak kembali Roni, seorang teman lama yang selanjutnya mengajaknya bekerja melaut bersama rombongan ini, barulah kemudian dengan perlahan masalah lilitan ekonomi mulai bisa diurai. Jika salah satu teman mereka menceritakan tentang kenangan kenangan pahit kisah hidupnya, teman yang satunya agak sedikit berbeda, ia bercerita mengenai besaran upah yang telah didapatkan saat ini bersama rombongan. Katanya upah yang di peroleh bisa dikatakan besar. 

Entah jujur atau tidak kudengarkan dari mulutnya yang di sumpal sigaret mengungkapkan jika ada uang berlebih dirinya suka ketempat tempat hiburan malam. Minum minum dan seterusnya. Aku memicingkan mata dan berkata "benarkah? Lalu di jawab dengan anggukan kepala dari ketiganya dan di akhiri dengan tertawaan.

Mereka hafal betul nama nama tempat hiburan malam yang pernah di kunjungi beserta rute menuju lokasi. Biasanya tempat semacam itu tidak secara langsung dapat terlihat sebagai tempat hiburan malam. Di depan tempat tersebut mungkin bisa saja nampak seperti toko perabot ataupun lainnya, setelah masuk kedalam barulah kita dapati bahwa tempat itu sebagai tempat minum dan hiburan, tentunya juga menyediakan banyak wanita penjaja kepuasan batin di sana. Wanita wanita yang paling banyak di jumpai biasanya datang dari Makkasar dan pulau pulau di luar Jawa. Mendengarkan itu semua Hasrat keingintahuan dalam hati akan hal baru ini terus berlanjut, untuk itu aku terus menyodorkan pertanyaan untuk dapat menyelidik. 

Dengan bahasa yang bercampur aduk mereka mencoba menarasikan bagaimana kerja keras semasa di lautan dan juga segi kehidupan mereka. Agak lama aku coba tangkap poin poin pentingnya.

Etos kerja yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran, kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan, apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian, terbuka dan ekspresif sehingga terkesan "kasar", solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama ataupun membantu sesama ketika menghadapi musibah, kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi, bergaya hidup konsumtif, demonstratif dalam harta benda (emas, perabot rumah tangga, kendaraan, bangunan rumah, dan sebagainya) sebagai manifestasi "keberhasilan hidup" Tempramental, khususnya jika mengenai harga diri. Begitulah poin poin yang dapat aku peroleh dari segi kehidupan sosial nelayan pada umumnya. 

Tak heran jika hiburan malam dan seks menjadi semacam sarana "peredam" atas kerasnya kehidupan mereka. Aku bertambah yakin karena jika melihat kembali fakta fakta sejarah melalui beberapa literatur tentang pelayaran juga tidak pernah terlepas dari ketiga hal ini, yakni: pelacuran, hiburan dan perjudian.  memang biasa dalam kehidupan para pelaut yang melakukan perjalanan untuk berdagang dari Benua Eropa sampai Asia tenggara. Pelabuhan-pelabuhan di Nusantara dahulu justru memanfaatkan kegiatan pelacuran untuk membuat pelabuhanya banyak di kunjungi para pelaut.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun