Mohon tunggu...
Jane
Jane Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Internasional Batam

Mahasiswa fakultas ilmu hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Wanprestasi dalam Kehidupan Sehari-hari

3 Mei 2021   16:45 Diperbarui: 3 Mei 2021   16:48 4006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak langsung kita sering melakukan suatu perjanjian atau perikatan. Contoh paling sederhana adalah transaksi jual beli ataupun sewa-menyewa. Dalam suatu hubungan perikatan akan timbul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. 

Dalam hubungan perikatan atau perjanjian, terdapat dua subjek hukum yaitu kreditur dan debitur. Kreditur adalah seseorang yang berhak mendapatkan prestasi, sedangkan debitur adalah seseorang yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut sebagai bentuk kewajiban kepada kreditur. Suatu hubungan perikatan hanya akan terjadi jika terdapat kesepakatan antara kedua pihak tersebut. Perikatan tidak akan timbul jika tidak terdapat satu pihak yang mendapatkan hak dan satu pihak yang melakukan kewajibannya. 

Dalam hukum perdata, suatu perjanjian hendaknya memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, antara lain adanya kata sepakat antara pihak, kecakapan para pihak dalam membuat perjanjian, terdapat suatu hal yang tertentu, dan suatu sebab yang halal (berarti objek perjanjian merupakan objek yang halal). Syarat-syarat ini perlu dipatuhi supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan selama perjanjian tersebut berlangsung.

Namun, apakah dengan memenuhi syarat-syarat perjanjian dalam pasal 1320 KUHPerdata saja dapat menjamin para pihak tidak mengalami kerugian? Tentu saja tidak. Mengapa demikian? Sebab selama proses pemenuhan perjanjian, salah satu pihak dapat mengalami wanprestasi atau tidak memenuhi prestasi. 

Nah, apa itu prestasi? Prestasi adalah sesuatu yang harus dipenuhi debitur kepada kreditur. Prestasi juga dapat dikatakan sebagai utang terhadap kreditur yang mempunyai piutang. Menurut KUH Perdata pasal 1234 terdapat 3 wujud prestasi yaitu; memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu. 

Kebalikan dari prestasi, wanprestasi adalah keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi perjanjiannya kepada kreditur. Dalam hal ini debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya sehingga hak kreditur tidak terpenuhi, ataupun sebaliknya. Awalnya wanprestasi berasal dari istilah Belanda yaitu Wanprestatie yang berarti tidak dipenuhinya suatu prestasi ataupun kewajiban oleh pihak tertentu dalam suatu perikatan atau perjanjian. 

Ada pun pengertian wanpretasi menurut pasal 1238 KUHPerdata yang berbunyi "Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini yang ditentukan". Artinya adalah dalam suatu kejadian wanprestasi, biasanya terjadi karena lalainya debitur dalam pemenuhan kewajibannya. 

Tidak dipenuhinya prestasi dalam suatu perikatan kemungkinan disebabkan oleh 2 hal, yaitu kesalahan debitur (karena kelalaian ataupun kesengajaan) dan juga karena overmacht. Overmacht atau biasa yang kita sebut dengan keadaan memaksa, adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi prestasinya bukan karena inginnya, namun terdapat hal yang terjadi diluar kehendaknya. 

Hal ini tentu berbeda jika debitur tidak dapat memenuhi prestasinya karena overmacht. Dalam keadaan seperti ini, debitur dapat dibebaskan dalam pemenuhan kewajibannya. Kerugian yang dialami oleh kreditur disebabkan oleh peristiwa yang terjadi diluar kemampuan nalar, jadi debitur tidak dapat dituntut prestasi nya oleh kreditur. 

Penulis sepenuhnya setuju dengan pernyataan sebelumnya, Mengapa demikian? Sebab overmacht benar-benar di luar kendali pihak debitur. Misalnya, seseorang diberi proyek untuk membangun sebuah rumah, namun proyek tersebut dihentikan karena terjadi sebuah bencana non-alam yaitu pandemi COVID-19 yang memaksa untuk karantina di rumah dan melakukan social distancing. Dalam kondisi seperti ini, proyek tersebut tidak dapat dilanjutkan dan debitur tidak dapat dipersalahkan oleh kreditur. 

Lalu, dalam kondisi apa saja seseorang dikatakan wanprestasi? Terdapat 4 bentuk wanprestasi, antara lain tidak melakukan apa yang sanggup dilakukan, melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana yang telah dijanjikan, dan melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. 

Contoh kasus wanprestasi yang sederhana adalah ketika dalam perjanjian jual beli rumah, si A menjual rumahnya kepada si B, namun B tidak memenuhi kewajibannya untuk mendapatkan rumah tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa B melakukan tindak wanprestasi sehingga A juga tidak berkewajiban untuk memberikan rumah tersebut kepadanya. 

Tetapi suatu wanprestasi biasanya tergantung bagaimana perjanjian tersebut dibuat. Misalnya jika dalam transaksi sewa-menyewa apartemen yang mengharuskan debitur untuk membayar sewa pada tanggal 2 Mei 2020, tetapi ia membayarnya sebulan setelahnya yaitu pada bulan Juni. Disebutkan bahwa debitur tersebut melakukan wanprestasi karena tidak membayar sewa sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. 

Nah, setelah kalian mengetahui apa itu wanprestasi, apa upaya hukum yang bisa dilakukan bagi pihak yang dirugikan? Jika terjadi wanprestasi, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut pemenuhan kewajiban kepada pihak yang melakukan pengingkaran. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah somasi, atau biasa yang kita sebut dengan teguran. Hal ini bertujuan untuk memberikan peringatan kepada pihak yang melakukan wanprestasi tersebut. Dalam kasus biasa, somasi biasanya dilakukan 3 kali. Adapun tujuan dari dilakukannya somasi ini adalah untuk menuntut pemenuhan kewajiban dari pihak yang melakukan wanprestasi. 

Tidak ada peraturan yang menyatakan berapa maksimal dilakukannya somasi. Jika masih tidak ada penyelesaian yang memuaskan meskipun telah dilakukan somasi ketiga, biasanya pihak yang dirugikan akan membuat surat gugatan kepada pengadilan ataupun dapat melakukan penuntutan ganti rugi berupa penggantian kerugian, biaya, dan bunga. Hal ini diatur pada pasal 1243 KUH Perdata. 

Somasi merupakan suatu hal yang memang harus dilakukan, sebab dengan adanya somasi, maka akan dengan mudah untuk membuktikan apakah seseorang dalam keadaan wanprestasi atau tidak. Menurut penulis, walaupun tidak ada aturan yang mengatur mengenai batas maksimal somasi, tidak ada pihak yang akan memberikan somasi lagi setelah somasi 3, mengapa? Karena tidak ada pihak kreditur yang bersedia menunggu pemenuhan kewajiban dari debitur lebih lama lagi.

Kerugian yang berupa kerusakan barang kreditur sehingga barang tersebut mengalami penurunan nilai jual akibat terjadinya wanprestasi dapat dituntut untuk penggantian kerugian. Misalnya, si A membeli mangga dari si B, namun si B telat menyerahkan mangga tersebut, sehingga mangga tersebut telah busuk. Maka, si A dapat menuntut si B untuk mengganti rugi atas kerugian yang telah diterima.

Biaya yang telah dikeluarkan pada saat melakukan perjanjian namun terjadinya wanprestasi dapat juga dituntut untuk penggantian biaya. Contohnya, si A telah membeli mobil sebesar Rp.200.000.000,-  dari si B, namun si B tidak menyerahkan mobil tersebut. Disini si A dapat menuntut si B untuk mengembalikan uang sebesar Rp.200.000.000,- sebagai bentuk penggantian biaya yang telah dikeluarkan si A.

Kita ambil contoh di atas, bagaimana jika si A telah melakukan perjanjian dengan si C dengan menjual mobil itu sebesar Rp.250.000.000,- namun si B tidak menyerahkan mobilnya. Tentu si A kehilangan keuntungan yang diharapkan atau dibayangkan dikarenakan terjadinya wanprestasi. Nah, disini si A dapat menuntut si B atas hal tersebut sebagai bentuk penggantian bunga. 

Tidak jarang orang-orang menyamakan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum (PMH). Padahal keduanya terdapat perbedaan yang mencolok. Wanprestasi hanya akan terjadi jika salah satu pihak dalam suatu perjanjian tidak memenuhi hak / kewajibannya, sedangkan PMH terjadi karena adanya perbuatan yang melanggar hukum. Wanprestasi timbul karena adanya perjanjian atau perikatan antara dua pihak atau lebih, sedangkan PMH timbul karena ada suatu perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu, maka jelas bahwa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum adalah dua hal yang berbeda. 

Dari seluruh pernyataan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa wanprestasi sebabkan oleh pihak kreditur lalai ataupun sengaja, dalam hal ini pihak kreditur dapat melakukan upaya somasi dan apabila somasi tidak memberikan solusi, maka dapat dibawa ke ranah pengadilan. Namun, bila debitur wanprestasi karena overmacht, maka debitur dibebaskan dari kewajibannya. Serta wanprestasi dan perbuatan melawan hukum merupakan dua hal yang berbeda sebab wanprestasi terjadi atas dasar adanya perjanjian, sedangkan perbuatan melawan hukum terjadi atas dasar adanya suatu perbuatan yang dilakukan. 

Artikel ini bertujuan untuk memenuhi syarat tugas ujian akhir semester mata kuliah hukum perdata. Artikel ini dibuat oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Internasional Batam. Adapun anggota dari kelompok 6 (kelas hukum perdata - 2IHMA) yaitu sebagai berikut:

1.  Jane NPM 2051066

2. Fiona NPM 2051068

3. Angelyn NPM 2051071

4. Grace Geovanni NPM 2051093

5. Shellin NPM 2051095

Dosen pengampu : Shenti Agustini, S.H., M.H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun