Frekuensi perubahan kurikulum ini sering kali menimbulkan ketidakpastian di kalangan guru, siswa, dan orang tua.Â
Setiap perubahan kurikulum menuntut penyesuaian yang tidak mudah, baik dari segi metode pengajaran, materi pelajaran, maupun infrastruktur pendukung.Â
Di SMK tempat saya bekerja, misalnya, sejak tahun 2022, Kurikulum Merdeka mulai diterapkan secara wajib.Â
Hal ini tentu menuntut adaptasi besar-besaran, baik dari pihak sekolah maupun tenaga pendidik.Â
Para guru harus mengikuti pelatihan untuk memahami dan menerapkan kurikulum baru, sementara siswa harus beradaptasi dengan metode pembelajaran yang berbeda dari kurikulum sebelumnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah tren pergantian kurikulum ini akan berlanjut di masa mendatang?Â
Dengan munculnya pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, kekhawatiran tentang perubahan kurikulum kembali mencuat.Â
Apakah menteri pendidikan yang baru akan mempertahankan Kurikulum Merdeka atau justru memperkenalkan kurikulum baru yang berbeda?Â
Mengingat sejarah pendidikan Indonesia yang kerap mengalami perubahan signifikan setiap kali terjadi pergantian pemimpin, tidak menutup kemungkinan hal serupa terjadi kembali.
Penting untuk diingat bahwa perubahan kurikulum bukanlah sesuatu yang buruk, selama dilakukan dengan perencanaan matang dan berbasis pada kebutuhan nyata dunia pendidikan.Â
Namun, perubahan yang terlalu sering, tanpa disertai evaluasi yang mendalam terhadap kurikulum yang ada, justru dapat menciptakan ketidakstabilan dalam proses belajar mengajar dan mengganggu kontinuitas pendidikan.Â
Oleh karena itu, pemerintah harus lebih bijak dalam menentukan kapan dan bagaimana perubahan kurikulum dilakukan, agar arah pendidikan Indonesia tetap jelas dan sesuai dengan visi jangka panjang.
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang muncul adalah: ke mana arah kompas pendidikan Indonesia?Â
Apakah perubahan kurikulum terus-menerus ini akan membawa perbaikan atau justru menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku pendidikan?