"Thrifting" mengumpulkan pakaian bekas layak pakai untuk bisnis ramah lingkungan dan menguntungkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, tren thrifting, atau pengumpulan dan penjualan kembali pakaian bekas yang masih layak pakai, telah menjadi semakin populer di berbagai kalangan masyarakat.Â
Aktivitas ini tidak hanya dipandang sebagai solusi gaya hidup hemat, tetapi juga sebagai langkah untuk mendukung keberlanjutan lingkungan.Â
Dalam era yang didominasi oleh konsumsi massal dan mode cepat (fast fashion), thrifting muncul sebagai alternatif yang lebih bijak.Â
Pakaian bekas yang masih layak pakai tidak hanya memberikan kesempatan bagi konsumen untuk mendapatkan barang berkualitas dengan harga lebih murah, tetapi juga membantu mengurangi limbah tekstil yang terus meningkat di dunia.
Produksi pakaian dalam industri fast fashion berkontribusi besar terhadap masalah lingkungan.Â
Limbah tekstil yang dihasilkan oleh pembuangan pakaian bekas semakin membebani tempat pembuangan akhir, dan proses produksi pakaian baru juga mencemari lingkungan, baik melalui penggunaan air yang berlebihan maupun emisi karbon dari transportasi barang.Â
Oleh karena itu, thrifting merupakan salah satu cara untuk mendaur ulang pakaian dan mengurangi jejak ekologis kita.Â
Selain itu, bisnis thrifting juga menawarkan peluang ekonomi yang signifikan, terutama bagi para pengusaha kecil yang ingin memanfaatkan tren ini untuk menciptakan usaha yang berkelanjutan.
Thrifting, atau dikenal juga sebagai bisnis penjualan pakaian bekas, merupakan praktik yang menggabungkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.Â
Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat tentang dampak lingkungan dari industri fast fashion, thrifting menawarkan solusi yang lebih ramah lingkungan.Â
Selain itu, thrifting juga menjadi pilihan bagi konsumen yang ingin tampil modis tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.Â
Dalam prosesnya, pakaian-pakaian bekas yang masih layak pakai dikumpulkan, disortir, dan dijual kembali kepada konsumen yang mencari alternatif lebih murah dan lebih berkelanjutan daripada membeli pakaian baru.
Banyak konsumen kini menyadari bahwa memilih pakaian bekas bukan hanya tentang menghemat uang, tetapi juga menjadi bagian dari gerakan global untuk mengurangi konsumsi berlebihan dan limbah.Â
Dalam konteks ini, bisnis thrifting dapat dipandang sebagai solusi yang tidak hanya menguntungkan secara finansial bagi para pelaku bisnis, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan lingkungan.Â
Dengan permintaan yang terus tumbuh, bisnis thrifting memiliki potensi besar untuk berkembang lebih jauh, terutama di negara-negara dengan populasi muda yang sadar akan pentingnya keberlanjutan.
Salah satu alasan utama mengapa bisnis thrifting dianggap ramah lingkungan adalah karena membantu mengurangi limbah tekstil.Â
Limbah pakaian merupakan salah satu masalah terbesar di dunia saat ini, dengan jutaan ton pakaian yang berakhir di tempat pembuangan akhir setiap tahun.Â
Pakaian yang dijual melalui toko thrifting umumnya merupakan pakaian yang masih dalam kondisi baik, tetapi tidak lagi digunakan oleh pemiliknya.Â
Dengan menjual kembali pakaian-pakaian ini, thrifting membantu memperpanjang masa pakai pakaian dan mengurangi jumlah limbah yang harus diolah.
Selain itu, proses produksi pakaian baru memerlukan sumber daya yang signifikan, seperti air, energi, dan bahan kimia.Â
Setiap kali seseorang membeli pakaian bekas alih-alih membeli yang baru, mereka berkontribusi dalam mengurangi permintaan untuk produksi baru.Â
Hal ini berdampak positif dalam mengurangi eksploitasi sumber daya alam dan menekan tingkat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri mode.Â
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa industri tekstil menyumbang sekitar 10% dari emisi karbon global, dan dengan membeli pakaian bekas, konsumen dapat membantu menurunkan angka ini.
Dari segi ekonomi, thrifting menawarkan peluang besar bagi para pengusaha kecil dan menengah.Â
Dengan modal yang relatif kecil, seseorang dapat memulai bisnis thrifting dengan mengumpulkan pakaian bekas dari berbagai sumber, seperti donasi, pasar loak, atau pembelian dalam jumlah besar dari pengecer.Â
Setelah pakaian tersebut disortir dan dibersihkan, mereka bisa dijual kembali baik secara online maupun melalui toko fisik.Â
Platform digital seperti Instagram, eBay, dan marketplace lainnya memudahkan pelaku usaha untuk memasarkan produk mereka kepada audiens yang lebih luas.Â
Konsumen, terutama dari kalangan generasi milenial dan Gen Z, semakin tertarik dengan thrifting karena aspek keberlanjutannya dan daya tarik unik pakaian vintage yang tidak selalu tersedia di toko-toko konvensional.
Namun, bisnis thrifting juga menghadapi beberapa tantangan. Salah satu tantangan utama adalah kualitas barang yang diperoleh.Â
Pakaian bekas mungkin tidak selalu dalam kondisi sempurna, sehingga memerlukan proses perbaikan atau restorasi sebelum dijual kembali.Â
Selain itu, persaingan di pasar thrifting semakin meningkat seiring dengan popularitasnya.Â
Para pelaku usaha harus mampu menawarkan nilai tambah, seperti kurasi yang baik, penjualan pakaian bermerek, atau penawaran harga yang kompetitif, agar dapat bersaing di pasar yang semakin ramai.
Thrifting merupakan solusi yang menguntungkan dari segi ekonomi sekaligus ramah lingkungan.Â
Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya limbah tekstil, bisnis ini muncul sebagai alternatif yang cerdas bagi konsumen yang peduli terhadap keberlanjutan.Â
Selain memberikan manfaat bagi lingkungan dengan mengurangi produksi dan konsumsi pakaian baru, thrifting juga menawarkan peluang ekonomi yang menjanjikan bagi para pengusaha yang mampu menangkap tren ini.Â
Melalui kombinasi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, thrifting berpotensi menjadi salah satu pilar utama dalam upaya global menuju gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI