Diskriminasi berbasis usia atau ageisme menjadi isu yang semakin mencolok dalam dunia kerja saat ini.Â
Praktik pembatasan usia dalam proses rekrutmen sering kali mengabaikan kualifikasi dan kompetensi calon pekerja, menempatkan mereka di luar rentang usia tertentu pada posisi yang kurang menguntungkan atau bahkan menghalangi mereka dari kesempatan kerja sama sekali.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan jumlah pekerja yang ter-PHK pada periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang, meningkat 21,4% dari 26.400 orang pada periode yang sama tahun lalu.Â
Kenaikan angka PHK ini menambah tekanan pada pasar tenaga kerja yang sudah menghadapi tantangan besar.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2024 berada di angka 4,82%, menurun 0,63% dibandingkan Februari 2023.Â
Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh penyerapan kerja di sektor informal. BPS mencatat proporsi pekerja informal saat ini mencapai 59,17%, meningkat dari 55,88% pada Agustus 2019.
Dampak Negatif Batas Usia pada Pekerja Kontrak dan Perempuan
Praktik ageisme memiliki dampak negatif yang signifikan, terutama bagi pekerja kontrak dan pekerja perempuan.Â
Pekerja kontrak, yang sering kali berada di usia yang lebih tua dan memiliki pengalaman yang luas, sering kali menghadapi tantangan lebih besar karena adanya pembatasan usia yang ketat.Â
Begitu juga dengan pekerja perempuan, yang menghadapi diskriminasi ganda berdasarkan usia dan gender.Â
Diskriminasi berbasis usia ini tidak hanya membatasi peluang kerja tetapi juga memperburuk ketidakadilan di pasar kerja, menciptakan kesenjangan yang lebih besar dalam kesempatan kerja.