Jika hening ku menusuk diri
Luluh riuh bayang kian menari
Mengurai angan melingkar duri
Jika hening ku penuh misteri
Memendam rasa di balik mentari
Jernihkan ingatan lamunan ku sendiri
Dalam keheningan lamunan teringat ayah tercinta dengan tawa, canda, amarah, senyuman kini sirna sudah.
Bahkan pada akhir hidupnya ia masih mengajak ku bercanda dan berpulang tepat sebelum hari raya itu tiba.
Ia berpulang selamanya saat semua orang mudik ke kampung halaman.
Mereka yang datang ke upacara pemakamannya adalah orang-orang yang rela sejenak meninggalkan sanak saudara.
Terima kasih kami yang tak terhingga untuk itu.
Pada hari itu pula kami merayakan hidupnya yang semarak dengan karya.
Karya-karyanya yang masih juga ia pikirkan, bahkan pada hari-hari awal di atas ranjang rumah sakit.
Samar ia berkata, "Aku harus sembuh.
Ada keinginan yang belum selesai."
Meski saat itu sisi kanan tubuhnya sudah mulai rapuh.
Bulan itu di hari kelabu yang porak poranda dengan cara yang indah.
Lantai ruang tunggu pasien ICU menjadi ruang kelas tempat sekali lagi mengeja sabar dan syukur.
Hingga genap 2 hari pertempuran.
Beberapa hari sebelum kepulangannya, aku tahu ayah sedang menjalani peperangan yang tidak akan ia menangkan.
Detik-detik sebelum detak jantungnya berhenti, di sisi ranjang aku menangisi segala perkara yang belum selesai.
Segala harapannya pada anak-anak yang tak sanggup aku penuhi.
Semua kekecewaan yang barangkali ia bawa tiap hari dalam lelap.
Semua silang sengkarut yang tak punya titik temu.
Namun aku bersyukur diberi waktu untuk menemani dalam dua pekan terakhir hidupnya.
Seseorang baru benar-benar tiada jika ia telah dilupakan.
Namun ayah aku telah lama mengabadikan diri dalam karya-karyanya.
Bahagia di surga, Ayah...