Bulan itu di hari kelabu yang porak poranda dengan cara yang indah.
Lantai ruang tunggu pasien ICU menjadi ruang kelas tempat sekali lagi mengeja sabar dan syukur.
Hingga genap 2 hari pertempuran.
Beberapa hari sebelum kepulangannya, aku tahu ayah sedang menjalani peperangan yang tidak akan ia menangkan.
Detik-detik sebelum detak jantungnya berhenti, di sisi ranjang aku menangisi segala perkara yang belum selesai.
Segala harapannya pada anak-anak yang tak sanggup aku penuhi.
Semua kekecewaan yang barangkali ia bawa tiap hari dalam lelap.
Semua silang sengkarut yang tak punya titik temu.
Namun aku bersyukur diberi waktu untuk menemani dalam dua pekan terakhir hidupnya.
Seseorang baru benar-benar tiada jika ia telah dilupakan.
Namun ayah aku telah lama mengabadikan diri dalam karya-karyanya.
Bahagia di surga, Ayah...