MASALAH MASJID YANG DIBAKAR DI KABUPATEN TOLIKARA TETAPI POLRI DAN DENSUS 88 DIAM.
Kabupaten Tolikara adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Papua. Ibukota Kabupaten ini terletak di Karabuga.
Ketika masyarakat Muslim hendak melakukan Salat Idul Fitri yang digelar di Karubaga, ibu kota Tolikara, Papua, pada Jumat pagi, 17 Juli 2015, diwarnai kericuhan, yakni aksi pelemparan oleh ratusan orang ke lokasi ibadah itu. Akibatnya jemaah muslim yang sedang menggelar salat ketakutan dan membubarkan diri.
Juru Bicara Polda Papua, Komisaris Besar Polisi Rudolf Patrige Renwarin, membenarkan peristiwa itu. Dia menceritakan saat umat muslim menggelar salat takbiran pertama, datang sekelompok orang berteriak melarang pelaksanaan salat. "Massa berteriak melarang salat Id di Tolikara," katanya.
Masyarakat yang sedang melaksanakan salat ketakutan dan membubarkan diri dengan bersembunyi ke kantor Koramil dan pos tentara, tidak jauh dari lokasi kejadian. Namun, selang sejam kemudian, sekelompok massa melakukan pelemparan ke arah Musala Baitul Mutaqin. Setelah itu massa membakar musala dan sebelas kios serta enam rumah “Data Viva News”.
AKAR PERMASALAHAN
Menurut saya sebagai penulis. Akar permasalahn umat GIDI melakukan anarkis adalah dipicu dari surat selebaran pengurus Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) tertanggal 11 Juli 2015. Lalu setelah kejadian tersebut pemerintahan kita sibuk memutarbalikan fakta “distorsi” untuk membela dan melindungi umat GIDI. Yang ujung ujungnya pasti yang akan disalahkan adalah umat muslim Papua oleh pemerintah, termasuk oleh Polri dan Densus 88. Sebaliknya umat GIDI/Karesten tidak akan mungkin dibilang Teroris oleh Pemerintah oleh Polri dan Densus 88.
Dan mengapa Polri dan Densus 88 seakan-akan diam dan tidak menangkap si pembuat surat tersebut yang isinya sudah jelas-jelas menghina umat muslim, memprovokatif, mengagitasi, melecehkan dan merendahkan serta menistakan umat muslim. Apakah surat GIDI tersebut sebagai bentuk toleransi kepada umat muslim atau sebagai bentuk penghinaan, pelecehan?. Surat tersebut jelas-jelas telah melanggar dan merongrong kewibawaan Konstitusi UUD RI 1945 dan hukumnya wajib di bubarkan.
Sebagai Negara hokum seharusnya pemerintah RI menunjukan kewibawaan hukumnya “Menjaga Kewibawaan Konstitusi” dan bukan malah merendahkan konstitusi itu sendiri. Kalau pejabat Negara atau pejabat Daerah melanggar Konstitusi, sudah pasti hukumannya adalah pidana penjara. Dan kalau yang membuat surat itu adalah Ketua MUI “Majelis Ulama Indonesia” sudah pasti Polri dan Densus 88 memberangus seluruh pengurus MUI. Dan seluruh pengurus MUI bisa dikatakan TERORIS oleh Pemerintah Oleh Polri dan Densus 88.
Kami sebagai umat muslim marah terhadap pengurus GIDI dan umat GIDI yang telah menghina dan merusak sarana prasarana ibadah umat muslim, tetapi kami sesungguhnya lebih marah “lihat masyarakat medsos” terhadap sikap ketidak adilan pemerintah “Baca Presiden - Polri dan Densus 88” yang bersikap dan berperilaku tidak adil terhadap umat muslim di Indoensia.
Kami sebagai umat Muslim terbesar di Indonesia dan terbesar di Dunia, sadar-se sadar sadarnya tidak akan melakukan perlawanan secara anarkis, karena kehidupan umat muslim di Indonesia sesungguhnya sudah tertekan, terancam, oleh perilaku pemerintah dan perilaku Polri serta perilaku Densus 88 yang sering menyiksa, membunuh umat muslim. Dan umat muslin sering diakatan sebagai teroris oleh Polri maupun oleh Densus 88, karena sedikit saja kami melakukan anarkis maka jiwa kami terancam. Seharusnya kami jihad fisik dan bukan jihad pikiran. Sekarang kami baru hanya bisa jihad pikiran.
Kami umat muslim tidak bodoh, walaupun sering dibodoh bodohi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H