Di kabupaten Pandeglang, provinsi Banten ada banyak tempat peninggalan dari para karuhun (leluhur); berupa patilasan atau makam hingga situs pra-sejarah. Seperti di pasir Sukalimas, kecamatan Karangtanjung, Cihunjuran dan Batu Quran di Mandalawangi, Pahoman di gunung Karang dan lain-lain.
Di tempat-tempat itu, terdapat mata air, yang alirannya digunakan untuk berbagai keperluan masyarakat. Baik untuk mengairi lahan pertanian maupun untuk kebutuhan rumah tangga.
Sebagai area yang diyakini memiliki hawa mistik yang kuat, para warga tidak berani mengganggu habitat yang ada disana, apalagi sampai merusaknya. Jika mereka menebang kayu secara sembarangan misalnya, kehidupannya akan ditimpa masalah atau hidup mereka menjadi susah balangsak.
Dan yang pasti, menjamah kelestarian alam di sekitar tempat karuhun, hukumnya adalah pamali.
Secara harfiah Pamali adalah pantangan atau tabu. Pamali mengandung arti larangan keras dari para karuhun atau adat setempat, baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan. Tradisi Pamali telah diperkenalkan orang tua secara turun-temurun, jauh sebelum pemerintah memasang plang-plang besi yang bertuliskan 'kawasan yang di lindungi' pada tempat-tempat tersebut diatas atau pada beberapa tempat lain-nya yang ada di kabupaten Pandeglang. *
Sebelum tahun 2000-an, saya pernah beberapa kali ziarah ke Pahoman. Bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan gunung Karang, Pahoman selain keramat juga sebagai tempat untuk melihat ke masa lalu (sejarah).
Bermacam-macam, ada yang datang ke Pahoman tujuannya ingin usahanya lancar atau hidupnya sukses, ada juga yang ingin cepat dapat pasangan hidup (jodoh).
Ketika pertama kali ke Pahoman, serasa berada di dunia yang berbeda. Melihat batu berdiri yang di sekelilingnya pohon-pohon, yang usianya entah berapa ratusan tahun. Beberapa meter saja dari situ, terdapat sebuah mata air yang sangat jernih dan sejuknya bukan main. Sangat berkesan, hingga rasanya tidak pernah bosan berada disana.
Pahoman, sejatinya adalah sebuah situs dari zaman megalitikum. Batu yang berdiri itu sebenarnya adalah sebuah menhir. **
Pada beberapa waktu kemarin, saya pun berkunjung ke Pahoman. Tidak untuk maksud lain-lain, hanya ingin me-represh otak saja.
Ternyata, kini Pahoman sepertinya sudah dikelola sedemikian rupa. Di arah jalan masuk kawasan telah dilengkapi area parkir, demikian pula jalan tanah setapak itu pun sudah di paving blok.
Sambil jalan saya terus memperhatikan sekitar, jelas sekali alam Pahoman sudah jauh berbeda. Meski hawanya masih terasa sejuk, tampak di sisi kiri ada sebuah rumah/villa berukuran besar yang dipagar tinggi. Seingat saya dulu disitu masih rimbun dengan pepohonan.
Dan ketika tiba di tempat yang di tuju, sungguh kaget dibuatnya. Sejenak hanya tertegun menyaksikan betapa Pahoman yang dulu begitu terbuka dan menyatu dengan alam, kini tidak lagi.
Tempat itu kini telah dipagar yang di dalamnya juga terdapat beberapa bangunan permanen. Mungkin yang satu berupa  bangunan mushola, tapi yang satu lagi entah bangunan apa.
Terlihat ada beberapa kuncen disitu, juga dua buah kotak amal jariah. Selain beberapa pohon besar sudah tidak ada, sumber mata air-nya pun jauh dari kesan alami. Terdapat sekat-sekat tembok juga banyak slang yang terpasang bertumpuk pada bagian sisi sumurnya. Padahal dulu hanya ada satu pipa besi yang menempel disitu, yang mengalirkan air ke penampungan dibawah untuk kebutuhan warga. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H