Jampit L.S. Pamungkas
18/01/2017
Tak begitu banyak asa yang ingin digapai laki-laki ‘pengretek’. Ketika bangun pagi sudah cemepak kopi pahit dan pro mild (rokok kretek yang sudah menemani suka-duka saya lebih dari tiga tahun). Namun asa hanyalah asa, takdir Tuhan berkehendak lain. Jodoh yang diberikan Tuhan kepada saya adalah perempuan yang begitu kritis terhadap kretek-us.Saya tak pernah menyesal sedikitpun atas jodoh saya yang ultra-bawel soal rokok. Karena dari dia saya mengerti betul pesan moral iklan rokok yang tersurat “ROKOK MEMBUNUHMU”.
Bak seorang expert bidang kesehatan dan eko-pol-sos-bud-han-kam, isteri saya menguliti dari berbagai penjuru mata angin dampak merokok. Dari sisi kesehatan, WHO jelas menjadi tumpuan argumen isteri saya. “WHO pada tahun 2014 mencatat epidemi tembakau telah membunuh 6 juta pertahun dan 600 ribu orang diantaranya adalah perokok pasif”, kultum pagi isteri. “Kupinge dirungokne, ora usah sok sibuk karo anak”, penegasan akhir kultum pagi istri sambil nge-gadget cari link info lain soal rokok dan diskonan perlengkapan bayi.
Kandungan zat nikotin, benzene, arsenik, TAR, formaldehida dan masih ada sekitar 10 zat berbahaya lain yang terkandung dalam rokok juga dijejalkan istri ke kepala saya. Dalam batin saya, “Lah kae bapak (mertua) yo ngrokok”, tapi memang cuma berani saya batin. Kalo itu saya ucapkan secara verbal bisa terjadi perang dunia ke 3 versi mini.
Selama ini kretek selalu dianggap sebagai biang keladi atas berbagai penyakit yang dialami masyarakat. Mulai dari jantung, kanker, hingga gangguan kehamilan semuanya selalu disebabkan satu faktor; kretek. Padahal, jika kita mau adil, semua penyakit di atas tidak serta merta disebabkan oleh kretek sebagai faktor tunggal.
Kretek berbeda dengan rokok putih biasa. Jika kretek adalah perpaduan antara cengkeh dan tembakau, maka rokok hanya menggunakan tembakau sebagai bahan utama. Ketidakpahaman atas hal ini membuat generalisasi bahwa kretek dan rokok adalah sama.
Diana Hollingsworth menyebutkan kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal usul yang akurat tentang rokok kretek. Menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, penduduk asli Kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Setelah itu, sakitnya pun reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.
Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan "rokok obat" ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek", maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan "rokok kretek". Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daunjagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang.
Bahaya rokok menurut isteri saya tidak berhenti pada aspek kesehatan jasmani saja. Rokok juga menjadi penyumbang persoalan besar dalam ekonomi domestik keluarga. Isteri saya punya hitungan bengini : 1 hari menghabiskan 2 bungkus rokok, harga pro mild per hari ini Rp 13.250 (harga ini di ambil dari average price antara toko kelontong samping rumah – Rp 13.000- dan harga di Alfa atau Indo –Rp 13.500-). Jika satu bulan maka ketemu Rp 13.250 x 2 bungkus = Rp 26.500 x 30 hari = Rp 795.000. “Uang segitu kan bisa digunakan yang lebih bermafaat, banyar angsuran motor atau modal cicilan KPR” tandas sangmaha-itungan. “Apalagi kamu udah merokok selama lebih dari sepuluh tahun mas, uang rokok sebenarnya udah bisa buat beli apanzah atau paling nggak bisa buat tambahan mahar pas nikahan kita dulu”, hasil hisab isteri sebelum gw dihisab di akherat. Lagi-lagi saya cuma bisa membatin untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginkan, “Nah itu, si otong (inisial), ga ngrokok puluhan tahun juga belum bisa beli apanzah atau inopah..”.
Sembari liat tweet-tweet hot yang ngebahas Pak Habib Rizeq Shihab yang kabarnya melempem menghadapi Bu Mega, saya mencoba memaparkan amatan dari sisi lain soal rokok. Begini, tembakau merupakan komoditi strategis di negeri ini. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tembakau berkualitas di dunia. Kendati bukan tanaman asli Indonesia, tembakau telah dibudidayakan petani sejak ratusan tahun. Ada ratusan varietas tembakau yang dibudidayakan petani di atas lahan seluas 250 ribu hektar. Banyak daerah yang terkenal dengan hasil tembakau seperti Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Madura, dan Lombok. Perusahaan rokok dan kretek nusantara menyerap 80 persen produksi tembakau lokal. Tidak hanya untuk produk rokok, tembakau juga dimanfaatkan masyarakat dalam keseharian seperti menginang dan prosesi-prosesi adat. Ditambah, ada beberapa varietas tembakau yang dibudidayakan petani diekspor ke luar negeri untuk pembuatan cerutu, seperti tembakau Vorstenlanden dan Deli. Kretek juga merupakan hasil karya bangsa Indoesia seperti yang saya sampaikan di atas.
Dulu Indonesia pernah jaya dengan minyak mandar atau lomo mandar, tapi dihancurkan dengan isu bahwa minyak mandar tidak baik untuk kesehatan oleh Amerika. Hal itu juga diberlakukan pada rokok kretek, lewat WHO, WTO dan pemerintahan Indonesia soal bahaya nikotin tinggi. Matinya Kopra, gula, garam, jamu dan kretek menandai matinya komoditas Agroindustri nasional. Matinya sebuah kebudayaan lokal.
Sambil isteri nyusui si Jenar (panggilan anak kami), saya melanjutkan dongeng saya tentang rokok. Entah analisis dengan teori konspirasi ini sudah terkonfirmasi masih secara faktual atau belum, bahwasannya histeria anti-rokok yang diciptakan kelompok Nazi berlangsung sukses atas dukungan Hitler, karena Hitler sendiri merupakan vegetarian dan tidak merokok. Walaupun dulunya dia juga seorang perokok berat di masa mudanya, Hitler memutuskan bahwa rokok berbahaya bagi kemurnian ras Aria dan giat menyokong kampanye anti-rokok. Merokok diberi label yang menyeramkan sebagai fenomena “epidemik”, “wabah”, “mabuk kering” (sebagai lawan “mabuk basah” akibat alkohol), “masturbasi paru-paru”, “penyakit peradaban”, dan “sisa-sisa gaya hidup liberal”. Gitu dek....
Dengan posisi menyusui yang berbeda (tadi yang kanan, sekarang yang kiri), isteri kembali menegaskan pada hitungan ekonomis. “Nek klepas-klepus terus.., leh arep mbangun omah pripun mas?” pertanyaan tajam isteri. Sebagai generasi milenial (yang lahir tahun 80an-90an), membeli rumah adalah suatu impian. Walau dengan kita tahu rata-rata jagi UMP Innalillah dengan harga tanah yang mashaAllah.“Gusti Allah mboten sare dek”, jawaban bijak saya –walau ga solutif. Hehe.
Namun gegara diskusi ringan dengan istri saya ini, saya berkomitmen untuk mengurangi rokok. Maksute ngelongi rokoke kancane (Jawaban pengretek lilahi ta’lala). Dan pesan moral iklan “ROKOK MEMBUNUHMU” begitu merasuk dalam sanubari saya. Karena isteri menafsiri iklan tersebut dengan kalimat “PILIH MATENI ROKOK OPO KOWE SENG TAK PATENI”. Modyarrrr nda........
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI