Ini puisi satire yang lepas landas dari bandara akal.
Hingga mungkin para pembaca tertawa terpingkal-pingkal.
Penulis berpikir ibarat mendaki gunung yang terjal.
Tertatih pada ujung tangan yang si kidal.
Ah, sial...
Taik kucing oleh hidung tercium.
Warnanya putih mengkilap-kilap.
Hampir ku hentikan puisi terburuk-ku.
Dalam fikir aku berfikir, ku katakan pada tangan: "Lanjutkan".
Hari sudah malam, dingin ikut menjadi teman.
Mulai habis tinta penaku, serap tak sempat ku jalap.
Otak ku masih berfungsi, bau taik kucing yang kian menjadi.
Muntah aku pada meja ketik-ku. Oaakkk...Bertumpahan.
Taik Kucing, kataku. Sambilan memegangnya dengan tangan kidalku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H