Ini puisi satire yang lepas landas dari bandara akal.
Hingga mungkin para pembaca tertawa terpingkal-pingkal.
Penulis berpikir ibarat mendaki gunung yang terjal.
Tertatih pada ujung tangan yang si kidal.
Ah, sial...
Taik kucing oleh hidung tercium.
Warnanya putih mengkilap-kilap.
Hampir ku hentikan puisi terburuk-ku.
Dalam fikir aku berfikir, ku katakan pada tangan: "Lanjutkan".
Hari sudah malam, dingin ikut menjadi teman.
Mulai habis tinta penaku, serap tak sempat ku jalap.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!