Berdasarkan hasil penelusuran terhadap original intent pemabahasan amandemen UUD 1945 terutama terkait pasal 6 ayat (2) dan pasal 22E ayat (2) ternyata ide-ide keserentakan Pemilu sudah dibahas dalam rapat-rapat PAH MPR waktu itu dengan berbagai pilihan keserentakan. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi MK untutk memutuskan piilhan keserentakan dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 adalah konstitusional.
Selain itu, berdasarkan hasil penelusursan original intent pembahasan amandemen UUD 1945, MK berpendapat bahwa pilihan aspek keserentakan dalam sistem Pemilu harus bermuara pada penguatan sistem presidensial sesuai kesepakatan pengubah UUD 1945.
Penguatan sistem presidensial dimaknai sebagai penguatan kedudukan dan kewenangan Presiden (eksektutif) dalam relasinya dengan DPR (legislatif). Dalam sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Presiden sebagai kepala negara dan lambang pemersatu bangsa.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 membawa konsekuensi terhadap perubahan sistem Pemilu di Indonesia terutama terhadap aspek keserentakan.Â
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, pelaksanaan Pilkada serentak nasional akan dilaksanakan pada tahun 2024 dimana pada tahun yang sama juga dilaksanakan Pemilu untuk memilih DPR, DPD, Presiden & Wakil Presiden, serta DPRD. Disain keserentakan ini merupakan tindak lanjut yang diatur dalam UU 10 Tahun 2016 berdasarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013.
Dan yang pasti adalah semua pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan serentak musti dilandasi dengan demokratis yang dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kontestasi politik perlu kembali pada kodratnya, yang mencerdaskan kehidupan politik bangsa dan merupakan sarana ekpresi kedaulatan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H