Kalimat diatas terutama ditujukan bagi para pelajar, mahasiswa, serta kaum yang masih ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya entah untuk masa depan ataupun hanya sekedar ingin tahu. Oleh  karena itu, jelas hal ini tak terlepas dari peran buku serta referensi lain seperti layanan internet sebagai sumber belajar.
Namun di era serba digital ini, peran buku kian menurun dari tahun ketahun. Pengunjung toko buku dan perpustakaan mengalami penurunan  akibat semakin canggihnya telepon pintar (smartphone) yang mudah diperoleh masyarakat segala kalangan. Lebih tepatnya internet telah menggeser posisi buku sebagai sumber belajar dan informasi. Alasannya logis,  masyarakat bisa dengan mudah memperoleh sumber belajar maupun bacaan menarik yang sesuai keperluan tanpa harus pergi jauh-jauh ke perpustakaan atau berlama-lama membaca buku yang tebal.
Internet jendela dunia?
Problema pun terjadi, apakah  pepatah  yang menyebut bahwa buku adalah jendela dunia kini hanya jadi slogan yang telah kedaluwarsa? Lalu apakah eksistensi internet telah menggantikan buku sebagai jendela dunia?  Ironis memang, namun kenyataan yang ditemui, para pelajar sekarang lebih dulu memanfaatkan layanan mesin pencari  Google yang disediakan internet jika memperoleh tugas dari sekolah ataupun kampus.  Sedangkan buku menjadi referensi nomor dua.
Google begitu dieluk-elukan sedangkan buku hanya menjadi penghias sudut ruangan lalu menjadi sarang debu. Ini tak terlepas dari  karakter masyarakat indonesia yang hanya mau segala sesuatu terjadi dan berlangsung dengan cepat, instan serta murah dan internet memiliki semuanya.
Namun temuan baru yang dilakukan oleh para pakar Universitas College London selama 5 tahun terakhir dapat menampik pernyataan diatas. Kedua situs yang menyediakan akses ke jurnal-jurnal, buku elektronik, dan sumber-sumber informasi tertulis lain ialah British Library dan United Kingdom Educational Consortium. Mereka mengatakan bahwa ternyata para pengunjung situs tersebut hanya sekilas saja membaca artikel-artikel tersebut. Terkadang para pengunjung juga mengunduh dan menyimpan artikel dalam komputer pribadi tapi tak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka kembali membuka artikel itu untuk dibaca kembali. Dan ternyata temuan mereka sangat persis dengan perilaku kita saat mencari referensi di internet.
Banyaknya jenis hiburan, permainan (game online) dan penggunaan sosial media membuat perhatian kita terhadap bacaan teralihkan. Iklan-iklan khusus orang dewasa juga sangat berbahaya untuk anak dibawah umur yang sedang berselancar di internet.
Buku sangat disarankan
Kadang di film-film barat digambarkan orang yang sedang menunggu bis, disela-sela menunggu itu disempatkan untuk membaca buku. Walaupun cuma dilihat dari film-film, saya menyimpulkan bahwa tradisi membaca buku memang sudah mendarah daging dikalangan masyarakat barat. Hal yang jarang ditemui dan dipraktekkan orang Indonesia.
Secara fisik, buku bisa disentuh dan dirasakan. Perspektif dari segi kesehatan, membaca buku membuat mata lebih rileks ketimbang menatap layar monitor yang berakibat mata cepat lelah. Daya ingat dan konsentarasi dapat meningkat jika rajin membaca buku. Hal ini diungkapkan oleh peneliti Anne Mangen, PhD, dari Universitas Stavenger Norwegia.
Buku lebih jujur daripada kebanyakan konten di internet karena sebuah buku layak terbit jika telah melewati proses seleksi yang ketat dari pihak editor penerbit. Tentu fakta yang tertuang dalam buku hampir 100% Â dapat dipercaya, berbeda dengan e-book maupun artikel yang menjamur di internet tanpa ada seleksi sehingga keakuratan data dan informasi sangat diragukan.