Yang terlintas dibenak ketika saya mendengar kata "Amfoang" yaitu jauh dan jalanan rusak. Begitu banyak cerita beredar kalau aksesibilitas menuju ke sangatlah sulit. Apalagi jika bepergian ke sana pada waktu musim hujan, akan sangat sulit dilalui karena jalanannya licin ditambah lagi longsor yang membuat jalan raya rusak parah. Dan itu semua terbukti, ketika saya bersama 3 orang teman yakni Mutiara Euodia Meinicholis alias Tiara, Martha Loban alias Atha dan Joanivita Paulo Gulo Soru alias Itha berangkat menuju Amfoang pada tanggal 12 Februari 2018.
Kami berempat termasuk dari 10 orang muda yang terpilih untuk mengikuti beasiswa field trip yang diselenggarakan Perkumpulan PIKUL dari tanggal 12 hingga 18 Februari 2018 dengan tujuan untuk belajar keanekaragam pangan lokal di daerah-daerah seperti di Amfoang (Desa Oh'aem dan Kelurahan Lelogama), Malaka (Desa Wanibesak) dan Semau (Desa Uitiuana). Saya dan Tiara ditempatkan di Desa Oh'aem, sedangkan Atha dan Ita di Kelurahan Lelogama. Kami berangkat dari Kupang Sekitar pukul 05.30 wita dan tiba di Desa Oh'aem sekitar pukul 10.00 wita. Semua penderitaan itu semakin jelas ketika saya muntah dalam perjalanan menuju ke sana, disaksikan oleh 3 orang wanita yang mendampingi saya. Sungguh pengalaman yang unik karena pertama kalinya ke sana, tetapi juga pengalaman yang sangat memalukan.
Di Desa Oh'aem, kami menginap di rumah Kades, Bapak Mesakh Tanaos, salah satu pegiat pangan lokal di desa tersebut. Ketika kami baru tiba, kami lansung dihadapkan dengan ratusan jagung yang baru saja dipanen. Bersama dengan beberapa orang mama Oh'aem, kami diajarkan cara mengikat jagung yang akan dimasukan ke dalam ume kbubu (rumah bulat) untuk dijadikan bibit dan persediaan mengantisipasi ketika musim paceklik tiba. Jagung harus dipilih yang seukuran kemudian enam tongkol jagung diikat menjadi satu. Jagung yang masih muda dan rusak juga dipisahkan tersendiri karena akan lansung dipakai untuk konsumsi manusia dan ternak. Gunanya jagung-jagung ini dimasukan ke dalam ume kbubu juga untuk mengawetkannya agar mampu bertahan lama. Yang uniknya adalah dalam ume kbubu, terdapat tungku api yang hampir selalu menyala walaupun tidak ada yang dimasak. Api dibiarkan menyala sesering mungkin agar jagung yang digantung di dalamnya dapat kering sempurna.
Ketika siang itu saat kami makan bersama, ada satu budaya makan orang Amfoang yang kami pelajari yaitu tidak boleh menyimpan piring duluan ketika yang lain belum selesai makan. Apabila kita selesai makan maka harus menunggu hingga orang yang terakhir selesai makan barulah piring disimpan bersamaan. Hal ini diberitahukan oleh Mama Kades ketika saya dan Tiara duluan menyimpan piring ketika selesai makan. Menurut cerita Mama Kades, dahulu dalam acara adat orang Amfoang tidak boleh ada yang makan duluan, semuanya harus dimulai bersamaan dan selesai atau menyimpan piringnya juga bersamaan. Apabila ada yang sudah kenyang dan tidak mau makan lagi maka harus menyisakan sedikit untuk menunggu orang terakhir selesai makan barulah dihabiskan dan piring disimpan. Semenjak dari saat itu, selama seminggu disana ketika kami makan bersama, kami mulai menyesuaikan budaya tersebut. Budaya ini mengajarkan kita tentang toleransi dan sikap saling menghargai walaupun hanya saat makan, sungguh pengalaman adalah guru terbaik.
Keesokan harinya, kami diajak oleh Bapak Kades untuk berkunjung ke rumah keluarga Bapak Teos Tpoenifu, salah satu keluarga yang masih melestarikan pangan lokal. Disana kami belajar banyak tentang cara mengolah masakan lokal, seperti membuat koto fael, sayur rebung bambu dan sambal lu'at khas Amfoang. Yang paling menarik adalah membuat koto fael. Koto fael adalah makanan campuran dari koto atau kacang hutan, biasa disebut juga arbila dan fael.
Mengapa saya katakan menarik? Karena bukan saja mengkonsumsi, kami juga lansung mempraktekan cara mengolah yang benar dan diajarkan pengetahuan baru yang sudah pasti banyak orang tidak tahu. Kami mulai memasak dari jam 10 pagi hingga sekitar jam 4 sore barulah koto fael siap untuk disantap. Dari Bapak Teos Tpoenifu, kami mendapat informasi bahwa koto dan fael adalah jenis bahan makanan yang mengandung racun, harus dimasak berkali-kali antara 8 -- 12 kali sehingga memakan waktu lama antara 4 -- 8 jam. Apabila koto/ arbila dimasak sendiri tanpa campuran fael maka dalam bahasa lokal disebut koto pesik, koto artinya kacang dan pesik artinya air dibuang/ ditiris. Jadi koto pesik artinya kacang yang direbus kemudian airnya ditiris. Yang menariknya juga, hanya sebagian kecil masyarakat saja yang berani mengolah makanan ini karena tingkat resikonya yang cukup tinggi. Jika makanan ini dikonsumsi saat masih beracun maka akan mengakibatkan kepala pusing, mual, muntah hingga yang paling fatal bisa saja kematian. Menurut masyarakat Oh'aem koto fael paling enak di konsumsi dengan madu dan sambal lu'at khas amfoang, apalagi dimakan menggunakan a panu dan a soko (alat makan yang terbuat dari tempurung kelapa). Namun kami belum berkesempatan untuk makan dengan madu karena belum waktunya panen madu. Kami hanya mencoba makan dengan menggunakan a panu dan a soko dengan campuran lauk sayur rebung bambu, ikan goreng dan sambal lu'at. Betul-betul akan menjadi 4 sehat 5 sempurna jika ditambah susu. Menurut cerita Bapak Teos, dahulu hampir disetiap ume kbubu masyarakat pasti disimpan koto dan fael karena ketersediaannya di hutan yang melimpah dan jika sudah kering, mampu bertahan lama sehingga dapat disimpan untuk mengantisipasi musim paceklik.
Dua hari selanjutnya, saya dan Tiara menginap di rumah Mama Sia Tpoenifu karena Bapak Kades bersama keluarga harus mengikuti kegiatan diskusi bersama tentang Pangan Lokal di Yayasan Alfa Omega (Tarus, Kabupaten Kupang). Kami serasa di rumah sendiri karena keluarga Mama Sia begitu bersahabat dan sangat ramah. Sayangnya selama dua hari menginap di rumah tersebut, kami lebih sering disuguhkan makanan pokok berupa nasi, sedangkan lauknya saja yang masih lokal seperti rebung bambu, labu, cendawan dan sambal lu'at. Ternyata sebagian besar masyarakat Oh'aem perlahan sudah meninggalkan budaya mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung, koto fael dan singkong. Menurut Mama Sia Tpoenifu, memasak pangan lokal memakan waktu dan tenaga. Misalnya untuk membuat jagung bose, harus ditumbuk dan memasaknya juga cukup lama agar teksturnya lembut. Begitu pula dengan singkong, harus digali kemudian dibersihkan baru dimasak sehingga pekerjaan lain akan terhambat. Bantuan raskin dari pemerintah juga membuat masyarakat semakin terlena sehingga lebih memilih mengkonsumsi yang lebih praktis.
Beberapa hari di sana, aktivitas kami juga lebih sering ditemani oleh tumpukan jagung dimana bertepatan dengan musim panen jagung. Hampir disetiap rumah yang kami datangi, ada aktifitas mengikat jagung. Ajaran cara mengikat jagung di hari pertama dari mama-mama Oh'aem pun dapat kami terapkan, dimana kami selalu ambil bagian dalam setiap kesempatan jika rumah yang kami datangi sedang mengikat jagung. Pelajaran yang kami dapat adalah semangat gotong royong yang begitu tinggi. Terkadang masyarakat berkumpul bisa semalaman hanya untuk mengikat jagung, jika belum selesai maka akan dilanjutkan esok harinya sampai semuanya selesai. Setelah proses ikat jagung selesai maka orang yang membantu akan mendapatkan imbalan berupa jagung. Budaya yang unik juga adalah dalam penentuan jumlah jagung untuk persediaan bibit musim tanam berikutnya, yakni jumlahnya harus genap yaitu 10 kuda, 20 kuda, 30 kuda dan seterusnya. 1 kuda berisi 3 ikat jagung, dimana 1 ikat jagung berjumlah 6 tongkol jagung sehingga 1 kuda berjumlah 18 tongkol jagung. Aturan ini sudah berlansung secara turun temurun sehingga tetap dilestarikan hingga sekarang. Semua jagung yang sudah diikat, akan dimasukan ke dalam ume kbubu agar bertahan hingga musim tanam berikutnya.
Di Oh'aem kami mendapat banyak pelajaran penting. Belajar sabar menghadapi jalanan rusak yang tidak ditemukan di Kota. Belajar semangat bergotong royong mengerjakan segala sesuatu. Belajar bersusah payah mencari sinyal hand phone. Belajar bagaimana orang bersusah payah hanya untuk makan sehari-hari. Belajar bagaimana masyarakat desa berdaulat pangannya sendiri tanpa mengharapkan impor beras dari luar negeri. Belajar bagaimana pergeseran budaya membuat pangan lokal semakin terpinggirkan. Belajar mengkonsumsi pangan lokal sebagai budaya yang harus tetap dijaga kelestariannya sebagai warisan bagi generasi penerus kita. Sungguh ilmu dan pengalaman yang sangat berharga.
Terima Kasih Oh'aem
James Gerson Mansula
23 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H