Dua hari selanjutnya, saya dan Tiara menginap di rumah Mama Sia Tpoenifu karena Bapak Kades bersama keluarga harus mengikuti kegiatan diskusi bersama tentang Pangan Lokal di Yayasan Alfa Omega (Tarus, Kabupaten Kupang). Kami serasa di rumah sendiri karena keluarga Mama Sia begitu bersahabat dan sangat ramah. Sayangnya selama dua hari menginap di rumah tersebut, kami lebih sering disuguhkan makanan pokok berupa nasi, sedangkan lauknya saja yang masih lokal seperti rebung bambu, labu, cendawan dan sambal lu'at. Ternyata sebagian besar masyarakat Oh'aem perlahan sudah meninggalkan budaya mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung, koto fael dan singkong. Menurut Mama Sia Tpoenifu, memasak pangan lokal memakan waktu dan tenaga. Misalnya untuk membuat jagung bose, harus ditumbuk dan memasaknya juga cukup lama agar teksturnya lembut. Begitu pula dengan singkong, harus digali kemudian dibersihkan baru dimasak sehingga pekerjaan lain akan terhambat. Bantuan raskin dari pemerintah juga membuat masyarakat semakin terlena sehingga lebih memilih mengkonsumsi yang lebih praktis.
Beberapa hari di sana, aktivitas kami juga lebih sering ditemani oleh tumpukan jagung dimana bertepatan dengan musim panen jagung. Hampir disetiap rumah yang kami datangi, ada aktifitas mengikat jagung. Ajaran cara mengikat jagung di hari pertama dari mama-mama Oh'aem pun dapat kami terapkan, dimana kami selalu ambil bagian dalam setiap kesempatan jika rumah yang kami datangi sedang mengikat jagung. Pelajaran yang kami dapat adalah semangat gotong royong yang begitu tinggi. Terkadang masyarakat berkumpul bisa semalaman hanya untuk mengikat jagung, jika belum selesai maka akan dilanjutkan esok harinya sampai semuanya selesai. Setelah proses ikat jagung selesai maka orang yang membantu akan mendapatkan imbalan berupa jagung. Budaya yang unik juga adalah dalam penentuan jumlah jagung untuk persediaan bibit musim tanam berikutnya, yakni jumlahnya harus genap yaitu 10 kuda, 20 kuda, 30 kuda dan seterusnya. 1 kuda berisi 3 ikat jagung, dimana 1 ikat jagung berjumlah 6 tongkol jagung sehingga 1 kuda berjumlah 18 tongkol jagung. Aturan ini sudah berlansung secara turun temurun sehingga tetap dilestarikan hingga sekarang. Semua jagung yang sudah diikat, akan dimasukan ke dalam ume kbubu agar bertahan hingga musim tanam berikutnya.
Di Oh'aem kami mendapat banyak pelajaran penting. Belajar sabar menghadapi jalanan rusak yang tidak ditemukan di Kota. Belajar semangat bergotong royong mengerjakan segala sesuatu. Belajar bersusah payah mencari sinyal hand phone. Belajar bagaimana orang bersusah payah hanya untuk makan sehari-hari. Belajar bagaimana masyarakat desa berdaulat pangannya sendiri tanpa mengharapkan impor beras dari luar negeri. Belajar bagaimana pergeseran budaya membuat pangan lokal semakin terpinggirkan. Belajar mengkonsumsi pangan lokal sebagai budaya yang harus tetap dijaga kelestariannya sebagai warisan bagi generasi penerus kita. Sungguh ilmu dan pengalaman yang sangat berharga.
Terima Kasih Oh'aem
James Gerson Mansula
23 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H