Mohon tunggu...
James Mansula
James Mansula Mohon Tunggu... Guru - Teaching is Passion, is not a Job

Guru Geografi, Alumni SM-3T, Alumni PPG SM-3T, Bigreds Regional Kupang

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Belajar Kuliner Lokal di Amfoang (Desa Oh'aem)

23 Oktober 2022   20:44 Diperbarui: 23 Oktober 2022   20:49 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang terlintas dibenak ketika saya mendengar kata "Amfoang" yaitu jauh dan jalanan rusak. Begitu banyak cerita beredar kalau aksesibilitas menuju ke sangatlah sulit. Apalagi jika bepergian ke sana pada waktu musim hujan, akan sangat sulit dilalui karena jalanannya licin ditambah lagi longsor yang membuat jalan raya rusak parah. Dan itu semua terbukti, ketika saya bersama 3 orang teman yakni Mutiara Euodia Meinicholis alias Tiara, Martha Loban alias Atha dan Joanivita Paulo Gulo Soru alias Itha berangkat menuju Amfoang pada tanggal 12 Februari 2018.

Kami berempat termasuk dari 10 orang muda yang terpilih untuk mengikuti beasiswa field trip yang diselenggarakan Perkumpulan PIKUL dari tanggal 12 hingga 18 Februari 2018 dengan tujuan untuk belajar keanekaragam pangan lokal di daerah-daerah seperti di Amfoang (Desa Oh'aem dan Kelurahan Lelogama), Malaka (Desa Wanibesak) dan Semau (Desa Uitiuana). Saya dan Tiara ditempatkan di Desa Oh'aem, sedangkan Atha dan Ita di Kelurahan Lelogama. Kami berangkat dari Kupang Sekitar pukul 05.30 wita dan tiba di Desa Oh'aem sekitar pukul 10.00 wita. Semua penderitaan itu semakin jelas ketika saya muntah dalam perjalanan menuju ke sana, disaksikan oleh 3 orang wanita yang mendampingi saya. Sungguh pengalaman yang unik karena pertama kalinya ke sana, tetapi juga pengalaman yang sangat memalukan.

Di Desa Oh'aem, kami menginap di rumah Kades, Bapak Mesakh Tanaos, salah satu pegiat pangan lokal di desa tersebut. Ketika kami baru tiba, kami lansung dihadapkan dengan ratusan jagung yang baru saja dipanen. Bersama dengan beberapa orang mama Oh'aem, kami diajarkan cara mengikat jagung yang akan dimasukan ke dalam ume kbubu (rumah bulat) untuk dijadikan bibit dan persediaan mengantisipasi ketika musim paceklik tiba. Jagung harus dipilih yang seukuran kemudian enam tongkol jagung diikat menjadi satu. Jagung yang masih muda dan rusak juga dipisahkan tersendiri karena akan lansung dipakai untuk konsumsi manusia dan ternak. Gunanya jagung-jagung ini dimasukan ke dalam ume kbubu juga untuk mengawetkannya agar mampu bertahan lama. Yang uniknya adalah dalam ume kbubu, terdapat tungku api yang hampir selalu menyala walaupun tidak ada yang dimasak. Api dibiarkan menyala sesering mungkin agar jagung yang digantung di dalamnya dapat kering sempurna.

Sambal Lu'at khas amfoang
Sambal Lu'at khas amfoang

Ketika siang itu saat kami makan bersama, ada satu budaya makan orang Amfoang yang kami pelajari yaitu tidak boleh menyimpan piring duluan ketika yang lain belum selesai makan. Apabila kita selesai makan maka harus menunggu hingga orang yang terakhir selesai makan barulah piring disimpan bersamaan. Hal ini diberitahukan oleh Mama Kades ketika saya dan Tiara duluan menyimpan piring ketika selesai makan. Menurut cerita Mama Kades, dahulu dalam acara adat orang Amfoang tidak boleh ada yang makan duluan, semuanya harus dimulai bersamaan dan selesai atau menyimpan piringnya juga bersamaan. Apabila ada yang sudah kenyang dan tidak mau makan lagi maka harus menyisakan sedikit untuk menunggu orang terakhir selesai makan barulah dihabiskan dan piring disimpan. Semenjak dari saat itu, selama seminggu disana ketika kami makan bersama, kami mulai menyesuaikan budaya tersebut. Budaya ini mengajarkan kita tentang toleransi dan sikap saling menghargai walaupun hanya saat makan, sungguh pengalaman adalah guru terbaik.

Keesokan harinya, kami diajak oleh Bapak Kades untuk berkunjung ke rumah keluarga Bapak Teos Tpoenifu, salah satu keluarga yang masih melestarikan pangan lokal. Disana kami belajar banyak tentang cara mengolah masakan lokal, seperti membuat koto fael, sayur rebung bambu dan sambal lu'at khas Amfoang. Yang paling menarik adalah membuat koto fael. Koto fael adalah makanan campuran dari koto atau kacang hutan, biasa disebut juga arbila dan fael.

Arbila/ kacang hutan (koto)
Arbila/ kacang hutan (koto)

Fael yang sudah dibersihkan
Fael yang sudah dibersihkan

Mengapa saya katakan menarik? Karena bukan saja mengkonsumsi, kami juga lansung mempraktekan cara mengolah yang benar dan diajarkan pengetahuan baru yang sudah pasti banyak orang tidak tahu. Kami mulai memasak dari jam 10 pagi hingga sekitar jam 4 sore barulah koto fael siap untuk disantap. Dari Bapak Teos Tpoenifu, kami mendapat informasi bahwa koto dan fael adalah jenis bahan makanan yang mengandung racun, harus dimasak berkali-kali antara 8 -- 12 kali sehingga memakan waktu lama antara 4 -- 8 jam. Apabila koto/ arbila dimasak sendiri tanpa campuran fael maka dalam bahasa lokal disebut koto pesik, koto artinya kacang dan pesik artinya air dibuang/ ditiris. Jadi koto pesik artinya kacang yang direbus kemudian airnya ditiris. Yang menariknya juga, hanya sebagian kecil masyarakat saja yang berani mengolah makanan ini karena tingkat resikonya yang cukup tinggi. Jika makanan ini dikonsumsi saat masih beracun maka akan mengakibatkan kepala pusing, mual, muntah hingga yang paling fatal bisa saja kematian. Menurut masyarakat Oh'aem koto fael paling enak di konsumsi dengan madu dan sambal lu'at khas amfoang, apalagi dimakan menggunakan a panu dan a soko (alat makan yang terbuat dari tempurung kelapa). Namun kami belum berkesempatan untuk makan dengan madu karena belum waktunya panen madu. Kami hanya mencoba makan dengan menggunakan a panu dan a soko dengan campuran lauk sayur rebung bambu, ikan goreng dan sambal lu'at. Betul-betul akan menjadi 4 sehat 5 sempurna jika ditambah susu. Menurut cerita Bapak Teos, dahulu hampir disetiap ume kbubu masyarakat pasti disimpan koto dan fael karena ketersediaannya di hutan yang melimpah dan jika sudah kering, mampu bertahan lama sehingga dapat disimpan untuk mengantisipasi musim paceklik.

A Panu & A Soko
A Panu & A Soko

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun