Mohon tunggu...
Jamaludin Law
Jamaludin Law Mohon Tunggu... -

Sederhana yang bukan biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkades Sketsa Demokrasi antara Budaya Pendidikan dan Budaya Jahil

22 Mei 2012   06:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:59 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori mana yang menjamin jika dalam proses ini yang sudah mengeluarkan uang begitu banyak bagi para calon peserta Kepala Desa untuk tidak berfikir mengembalikan modalnya atau tidak mencari keuntungan dari jabatannya ? ini yang kemudian menjadi resiko bawaan akibat dari proses yang sudah terlanjur di anggap benar.

Korban Kedua, adalah masyarakat pemilih itu sendiri, bagaimana tidak ? betul memang para pemilih mendapatkan sedikit dana sekedar untuk ongkos dan jajannya pada saat proses pemungutan suara bisa jadi besarannya berkisar Rp 100 atau Rp 200 ribu perorang atau bahkan lebih kecil dari itu, pertanyaannya apakah bisa mengganti nilai sekecil itu untuk membeli kepercayaan kita terhadap salah satu calon ?
pernah saya dengar bahwa kepercayaan mahal harganya, tapi sayapun melihat kepercayaan itu sedang di perdagangkan.
Apakah juga kita tidak bisa menilai dari nilai sebuah Sikap kritis, Teguh pendirian, Keyakinan, dan juga pemahaman ? Jika itu semua kita konversikan ke dalam bentuk Uang ?
jika hal tersebut terjadi pada masyarakat yang mempunyai pemahaman yang minimal, kita masih maklum, namun bila sudah terjangkit pada kalangan yang berpendidikan lumayan ini yang tidak bisa habis fikir,
karena setahu saya untuk biaya pendidikannyapun tidak cukup berbanding imbang dengan biaya sejumlah nilai buah tangan tersebut.

Korban Ketiga adalah Kreatifitas, pernahkah kita berfikir bahwa Kreatifitas itu sudah terlahir dan sangat mahal harganya sedemikian rupa sebagaimana tuhan ini menciptkan alam semesta secara berkesinambungan, begitupun Kreatifitas, dia banyak rupa dan jenisnya bisa di kenali bahwa untuk menikmati sebatang rokok itu dengan di hisap bukan di hirup, apa yang terjadi jika di hirup ? walupun tetap sama-sama menuju paru-paru,
begitupun dalam proses ini bagaimana mungkin mendapat pemimpin yang ideal yang tanpa berfikir apalagi berbuat untuk meraup keuntungan dan mengembalikan modalnya jika kelak kemudian ia terpilih menjadi pemimpin kita ? walaupun dealnya kita tetap mendapat pemimpin.
Atau dengan kata lain saya ingin mengungkapkan bahwa banyak cara yang di tempuh lebih murah, aman, dan mudah untuk mendapatkan pemimpin sesuai impian kita.

Korban ke Empat adalah Pendidikan, tanpa sadar kita sedang memberikan contoh kepada anak-anak kita atau generasi kita yang akan datang, menurut teori August Comte dengan Sosiologinya bahwa manusia lebih berperilaku mencontoh bahkan identik dengan apa yang di contohnya, siapa yang menjamin bahwa budaya yang di aggap wajar ini tidak di lakukan pada generasi ketiga atau ke tujuh dari keturunan kita ?
tanpa ada sifat kritis bahkan yang nampak anti kritik bagi para pemegang kepentingan. Untuk membedakan ini wajar atau tidak pun kita hilang pilahan,apalagi mengajarkan dengan tegas bahwa ini benar dan salah kepada anak-anak kita ? Bila melakukan kesalahan adalah sifat dasar manusia, maka memperbaiki kesalahan itupun seharusnya menjadi sifat yang paling dasar bagi manusia.

Korban yang terakhir yang ke Lima menurut saya adalah saya, dan anda yang membaca, karena untuk selamanya kita akan sulit untuk mendapatkan pemimpin yang kapabilitas, kecakapan, kepandaian dan wawasannya sebagai pemimpin baik. Rasanya saya belum menemukan literature atau apapun bentuknya yang menuangkan fakta bahwa, pemimpin-pemimpin besar di muka bumi ini melakukan hal demikian yang di anggap wajar. mereka menjadi besar karena orang-orang yang terpilih bukan karena uangnya, suara terbanyak, atau ketampanannya, akan tetapi karena kemampuannya, kecakapannya, dan akhlaknya, maka sesungguhnya selamat suatu kaum berada pada orang-orang yang ahli pada bidangnya masing-masing. Maka tidak aneh kiranya selalu kita dapati pemimpin cacat wibawa, discare, pembohong bahkan korup, atau seminimalnya tidak mampu bekerja.

Artikel ini bertujuan untuk dapat kita renungkan bersama kapan waktu itu akan berwujud pemimpin yang sesuai dengan impian kita, tidak berbohong, tidak khianat, tidak mendahulukan kepentingan pribadinya, peka terhadap masyarakat, pandai, berahlakul karimah sekalipun ia miskin seperti Rasulullah SAW. Walaupun ini sebatas wacana dan impian namun dengan cara apalagi kita memulai untuk melakukan perubahan, sebatas tidak setuju atau sependapat adalah tanda keimanan yang terlemah, jika sudah berkewenangan dan kemampuan cukup tinggal kita panggil memory ini untuk melakukan perubahan.

Untuk selanjutnya ada masalah selalu ada solusi pada artikel sambungan saya coba paparkan bagaimana idealnya dengan tetap mengindahkan Perda-Perda yang ada untuk memilih calon pemimpin Desa.yang tentunya dengan biaya yang ringan dan sedikit resiko khianat serta bohong dari pemimpin terpilih,
namun pertanyaan awalnya lebih bersedia manakah anda mendapat bayaran sedikit dengan banyak resiko tersebut atau dengan membayar sedikit dengan sedikit resiko tersebut, hendak dari mana kita mulai.
tunggu selanjutnya artikel saya berjudul “ Pemimpin tanpa bohong dan Khianat”

Di dedikasikan untuk keluarga, masyarakat, dan temanku tercinta,sebagai penggelitik pikiran kritis kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun