Berbicara ongkos Politik dalam penyelenggaran pemilihan Kepala Desa di Wilayah Kabupaten Bekasi, sudah di sebutkan dan tetapkan dalam Perda tersebut di atas pada Bab XVI pasal 61 ayat 1 sampai dengan ayat 3, bahwa sumber biaya adalah dari APBDes dan APBD Kabupaten Bekasi, di rancang dan di anggarkan secara patut dan wajar sesuai dengan kemampuan desa tersebut.
Bisa di pahami jika kita berandai biaya yang di keluarkan untuk jumlah pemilih 5000 jiwa pemilih saja, dan di anggarkan sebesar Rp.200 Juta biaya yang di perlukan, kiranya cukup mahal apalagi melampui nilai angka tersebut, secara kalkulus bisa di hitung setiap satu pemilih memerlukan biaya kurang lebih Rp.40 ribu, belum lagi biaya tidak terhitung dari para calon karena sudah menjadi Budaya khusus memberikan buah tangan kepada masing-masing calon pemilihnya bahkan merata di bagikan yang nilainya misalkan saja sebesar Rp.30 ribu dari masing-masing calon dikalikan jumlah calon , jika ada empat calon angkanya bisa mencapai Rp. 600 juta, wow harga yang fantastis untuk mendapatkan seorang pemimpin kelas Desa ini. Tunggu dulu Ini juga belum di tambah dengan uang taruhan alias judi oleh para spekulan politik tingkat cere hingga kakap, dari taruhan tapedeck, sepeda ontel di rumah hingga motor maupun sawah yang angkanya tidak dapat di duga dan terka.Fantastis
Ironisnya ini sudah pada tahap kewajaran dalam masing-masing pemahaman masyarakat Desa baik dari tingkat pemikiran dengan wawasan awam (Gressroot) maupun sampai tingkat pemikiran mapan seperti para Sarjana yang ada di Desa tersebut yang seharusnya dan selayaknya menjadi agen perubahan dari Budaya yang di anggap wajar ini, kenapa saya katakan Budaya ?
mengutip pendapat dari guru saya Pak Marjuki yang saat ini Kepala Sekolah di SDN Sukatenang 02 bahwa Budaya di lahirkan dari hal yang di lakukan berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan dan membentuk karakter, kebiasaan dan karakter itu sendirilah yang menjelma menjadi budaya tersebut.
Lantas kemudian apa dampaknya jika hal tersebut di lakoni apalagi secara legal dan structural termaktub dalam RAB Pemilihan Kades ?,
Hukum sebab akibat sebagai dampak utama pasti terjadi,
korban Pertama yaitu jelas, jika saja dana penyelenggaraan tersebut tidak dapat di penuhi dari APBDes dan APBD maka para Calon Kepala Desa itu sendiri yang akan menangungnya bahkan sudah menjadi kebiasaan pada tiap-tiap Desa di wilayah Kabupaten Bekasi bahwa Calon Kepala Desanya menanggung biaya yang timbul dari proses pemilihan kepala desa tersebut, meminjam istilah tanggung renteng dari para calon untuk memenuhinya, tentunya dengan kesepakatan yang sebelumnya sudah di Lobi terhadap Panitia Pemilihan Kepala Desa tersebut, jika boleh saya selipkan istilah politik dagang sapi, ada acara jika ada kesepakatan poilitik maupun kesepakatan anggaran, itupun tidak menjamin anda sebagai pemenangnya.
Taukah kita dari mana dana sebesar itu? Yang harus di penuhi oleh para Calon Kepala Desa akibat dari tuntutan Budaya yang sudah di anggap wajar itu ? Yang bisa jadi menjadi pertaruhan gengsi dari masing-masing kandidat.
beruntung bagi mereka yang memang mempunyai bekal cukup entah dari mana asalnya apakah hasil berhutang, menjual harta miliknya berupa tanah, empang, atau kendaraan, bahkan menjual perhiasan milik istrinya.
Lain halnya bagi mereka yang tak berduit, Cuma sebatas keinginan dan impian walaupun bisa jadi dia mempunyai kapabilitas, kecakapan dan kemampuan menjadi seorang pemimpin, suatu kerugian bagi yang di pimpin karena telah mempersempit ruang gerak calon pemimpin yang mampu namun terbatas biaya, mungkin ini yang namanya Proses Demokrasi,
pertanyaannya apakah ini terjadi karena kesalahan proses ataukah kesalahan bagi orang yang tak berduit ?
Jika hal demikian ada bisa jadi yang ada hanya mencoba untuk mengundi nasib alias berjudi kalau-kalau menang, itupun jika menang, jika kalah ? bagaimana untuk membayar hutang, pinjaman, mengembalikan modal ? dan lain sebagainya.
Rasanya cukup aneh jika kita mengeluarkan uang ratusan ribu bahkan ratusan juta rupiah jika tidak bermaksud ?, apakah menggandakannya atau minimal kembali lagi modal tersebut. Adakah pengusaha yang menggunakan uangnya untuk usahanya yang bangkrut dan tidak menghasilkan ? padahal untuk mewakili kita pada Kotak Jum’at setiap minggunyapun tidak pernah lebih dari Rp. 50 ribu bahkan hanya cukup selembar seribuan, naif memang , tapi ini fakta.