Jadwal mengajar di kampus hari Senin semester ini lagi kosong, saya manfaatkan untuk mencari lokasi tempat tinggal Amirah dan neneknya. Pertemuan saya dengan mereka beberapa hari lalu saat mereka sedang mencari barang bekas, membuat saya prihatin dan tergerak untuk melihat kondisi yang sebenarnya.
Walau sudah beberapa hari berlalu, rasa penasaran masih membayangi di benak saya bagaimana gadis kecil yang bernama Amirah dan neneknya bisa tegar dan sabar dalam menghadapi pahitnya hidup.
Pertemuan yang sangat singkat namun membekas terutama keteladanan Amirah dan neneknya dalam kesulitan hidup, pantas kita tiru dan apresiasi disaat begitu mahalnya sikap dan perilaku yang mempertahankan martabat di zaman yang serba ‘pemakluman’ akibat kondisi ekonomi yang sulit di tengah hantaman bandai Covid-19.
***
Menyusuri lorong-lorong sempit, sembari bertanya kepada beberapa orang di mana tinggal Amirah tidak membuat saya berputus asa karena sebagian besar mereka tidak mengetahui keberadaan anak tersebut. Wajar saja biasa orang yang terpinggirkan tidak dikenal khalayak ramai.
Sampai saya akhirnya melihat seorang ibu di sebuah gang pas di depan rumahnya, langsung saya dekati ibu tersebut seraya membatin “Semoga ibu ini mengetahui keberadaan Amirah”.
Awalnya saya bertanya “Apakah ibu kenal dengan Opung Pane di gang ini?”, ternyata ibu tersebut tidak mengenalnya, tapi tidak ‘patah arang’ saya bertanya lagi, “Kalau cucunya yang bernama Amirah, ibu kenal?” Spontan Ibu tersebut menjawab, “Ya, saya kenal Amirah, mereka tinggal di pinggiran sungai”.
Mendengar jawaban ibu tersebut, saya sontak ada perasaan senang apalagi ibu tersebut mau mengantarkan sampai ke lokasi. Tidak sabar ingin menjumpai Amirah, sampai akhirnya aku berhenti di ujung gang yang mengarah ke sungai.
Rasa penasaran terus membayangi ku, harus bersabar karena harus berjalan setapak menyusuri tembok tinggi rumah warga menuju lokasi. Setelah sampai, betapa terkejutnya saya ternyata hanya melihat seorang kakek tua yang sedang tidur terbaring tepat beberapa meter di pinggir sungai yang hanya dibatasi pembatas seadanya.
Kemudian ibu yang mengantar tadi mengatakan bahwa kemungkinan Amirah beserta neneknya masih di luar mencari barang bekas, bentar lagi sudah pulang karena biasanya mereka berangkat di pagi hari dan akan pulang tengah hari. Kemudian ibu yang mengantar saya kembali ke rumahnya, tak lupa saya mengucapkan terima kasih.
Tinggallah saya dan kakek tersebut, momen tersebut tidak ku sia-siakan langsung mendekati kakek tersebut , ku ajak ngobrol eh.. ternyata bapak tersebut tidak bisa melihat dan tidak bisa mendengar (tuli), “Ya Allah, ‘komplikasi’ sekali penderitaan Amirah dan keluarganya”, batin saya.
Tidak berlangsung lama, akhirnya Amirah dan neneknya tiba dengan membawa hasil pencarian barang bekas. Langsung saya dekati nenek tersebut, namun sedikit muncul raut wajah yang mengisyaratkan dia lupa dengan saya , sembari mengingatkan memorinya tentang pertemuan beberapa hari lalu, sampai akhirnya senyum simpul muncul pertanda nenek tersebut sudah ingat.
Setelah meletakkan barang bekasnya, tidak sabar saya lontarkan pertanyaan seputar keberadaan mereka dan kakek tersebut.
Masih tersengal-sengal nafas nenek tersebut mulai menjawab pertanyaan saya. Beliau mengatakan bahwa mereka tinggal di pinggiran sungai baru beberapa hari ini aja. Sambil menghapus air matanya dengan jilbabnya.
Saya sudah bisa merasakan kesedian mereka. Ini terpaksa mereka lakukan karena ketidakberdayaan tinggal menumpang dengan saudaranya, tanpa menyebutkan lebih rinci akibat beliau tidak tinggal lagi di rumah saudaranya itu
***
Keterbatasan Kakek Amirah, Tidak Melalaikan Ibadah
Suaminya sering menghatamkan Al Qur’an yang ditandai dengan makan pulut kuning bersama dimakan sebagai ‘ritual’ tanda kebaikan. Tidak jelas apa yang terjadi, sampai akhirnya beliau seperti ini. Kenangnya sambil menghapus air matanya yang keluar.
Setelah kejadian tersebut, suaminya tidak bisa berbuat banyak sehingga yang menggantikan untuk menopang kehidupan mereka yaitu istrinya (nenek Amirah).
Perbincangan semakin mendalam, sembari memohon maaf ku tanyakan perihal anak-anak mereka. Nenek tersebut mengatakan, bahkan beliau mempunyai ada 5 orang yang sudah berkeluarga dan yang tinggal masih di sekitar kota Medan. Mereka hanya tahu bahwa orang tua mereka tinggal di tempat saudaranya. Mereka tidak tahu bahwa orang ``tua mereka tinggal di pinggir sungai.
Yang membuat aku ta’ajub, mereka masih tetap mau sholat dan bahkan ke Masjid secara berjamaah yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka khususnya Sholat Maghrib dan Isya.
“Tidak saya sangka ternyata mereka orang yang rajin ibadah, walau nasib mereka belum beruntung, namun keberuntungan ada pada mereka yang tidak melalaikan sholat”, batin aku.
Bagaimana keadaan penerangan, wanita tersebut mengatakan bahwa beberapa hari ini hanya pake lilin saja untuk sekedar menerangi gubuk mereka.
Sudah bisa dibayangkan gelapnya di pinggiran sungai tanpa penerang yang sempurna, dan suasana dengungan suara nyamuk yang ‘nakal’ siap untuk menggigit di sekitarnya.
Tidak terasa sudah hampir 1 jam lebih kami mengobrol, aku pun pamit dan memberi motivasi kepada Amirah, nenek dan kakeknya bahwa Insya Allah kita akan coba bantu cari jalan keluar dari kesulitan ini.
***
Demikian kisah pertemuan kami di tempat tinggal Amirah yang sungguh memprihatinkan, semoga bisa membuka hati kita untuk meringankan beban mereka.
#BantuAmirahSekolah
Penulis, Guru SMK Telkom Medan & Dosen Politeknik Ganesha Medan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H