Nah, untuk mengukur seberapa besar pengaruh internet bagi masyarakat Indonesia, salah satunya, bisa diukur berdasarkan jumlah pengguna internet di negeri ini?
Berdasarkan laporan situs Daily Social (DS) bahwa pengguna internet di Indoensia adalah 83,6 juta, naik 33 % dibanding tahun lalu. (goodnewsfromindonesia.id). dari angka tersebut, mayoritas pengguna didominasi anak muda (umur 20-39). Sisanya diidi generasi tua (umur 40-59).
Pengguna internet di Indonesia kebanyakan lewat gadget sebanyak 85%. Disusul netbook 32%, tablet 14%, dan desktop 13%.
Senada dengan laporan DS, berdasarkan riset Google dan Trans Australia, 50% pemilik smartphone di Indonesia menjadikan piranti itu sebagai peralatan telekomunikasi utama, termasuk untuk mengakses internet. (kompas.com)
Sepanjang tahun, pengguna smartphone di Indonesia terus naik. eMarket mencatat, pada 2016 ada 65,2 juta pengguna smartphone. Sedangkan di 2017 akan ada 74,9 juta pengguna. Diperkirakan pada 2018-2019 akan terus naik di angka 83,5 juta hingga 92 juta mobil phone user di Indonesia. (okezone.com)
Dari data-data tersebut bisa dibaca dengan kaca mata apapun: ekonomi, sosial, politik, atau budaya. Yang pasti, bahwa pengguna internet di Indonesia sangat tinggi dan mayoritas lewat smartphone. Itu artinya siapapun yang bisa mewarnai internet, maka, setidaknya, akan bisa “mengendalikan” kepala banyak orang. Terlebih mayoritas pengguna di negeri ini berasal dari anak muda yang kebanyakan masih pada tahap pencarian diri, terkadang labil dan mudah dipengaruhi.
Jadi, merebut dan mewarnai internet, terutama media sosial, adalah sebuah pertarungan perebutan masa depan. Jika internet dipenuhi berita hoax yang berisi fitnah, caci maki, adu domba, juga ujaran-ujaran kebencian, maka bisa dibayangkan akan lahir generasi umat manusia seperti apa.
Lantas bagaimana?
Membendung hoax lewat jalur kekuasaan (menertibkan dan menerbitkan regulasi) bisa saja dilakukan, namun rawan disalahgunakan. Terutama untuk membungkam lawan-lawan politik atau menjinakkan rakyat. Meskipun agak sedikit lamban, cara paling mudah dan aman adalah menumbuhkan kesadaran kritis di masyarakat, terutama lewat pendidikan, baik pendidikan formal, non-formal, maupun informal.
Jika masyarakat kritis dalam memilih dan memilah informasi, mereka akan bisa membedakan, mana informasi yang benar, valid, dan berkualitas, dan mana yang abal-abal atau berita hoax. Jika informasi itu ibarat makanan, mereka akan bisa membedakan makanan yang sehat dan bergizi untuk tubuh daripada makanan sampah (junk food) dan berpenyakit. Karena itu, untuk menciptakan generasi sehat tanpa hoax, mulailah dari diri sendiri. Wallahu a’lam bi sawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H