Mohon tunggu...
Jamaluddin Mohammad
Jamaluddin Mohammad Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bekerja di Komunitas Seniman Santri (KSS) - Tak pernah berhenti belajar: belajar melihat, belajar mendengar, belajar merasakan, dan belajar menunda penilaian.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Melawan Berita Hoax

20 Januari 2017   14:39 Diperbarui: 20 Januari 2017   14:51 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jika ada akun abal-abal menyebarkan berita hoax, sebaiknya abaikan saja. Berita hoax menyebabkan kehancuran dan perpecahan umat. Terinspirasi dari QS al-Maidah 06.

***

Sebelum muncul media sosial (social media), informasi publik masih dikuasai media-media mainstream semacam koran, majalah, radio, televisi dll yang semuanya dikuasai dan dikendalikan oleh pemilik modal. Opini publik diproduksi di meja redaksi: apa dan bagaimana sebuah informasi diolah, disajikan, dan layak dikonsumsi publik? Kapan dan untuk apa dimunculkan?

Seiring kemunculan media sosial, terutama didukung teknologi internet, tampaknya era kejayaan media mainstreammulai semakin redup, peran dan fungsinya secara pelan-pelan diambil alih media sosial. Tanpa harus berbicara di depan wartawan, setiap orang bisa berbicara dan mengunggah opini dan pendapatnya di media sosial dan bisa diakses banyak orang. Inilah era kebebasan dan keterbukaan. Setiap orang menjadi subjek bagi kemajuan informasi dan teknologi.

Sayangnya, melimpah ruahnya informasi seringkali tak diimbangi dengan tumbuhnya daya kritis masyarakat. Banyak orang mudah menerima informasi apapun yang datang kepadanya, tanpa memeriksa kebenaran informasi tersebut, melakukan crosscheck, klarifikasi, atau bahkan tanpa berusaha mencari tahu atau membandingkan dengan informasi lainnya. Tumpulnya daya kritis di masyarakat menyebabkan masyarakat hanya menjadi konsumen pasif di tengah terjadinya ledakan industri informasi yang kini melanda dunia.

Idealnya, kebebasan dan keterbukaan informasi membuat masyarakat semakin cerdas, teliti, dan selektif dalam memilih dan memilah berita. Yang terjadi malah sebaliknya, orang jadi malas berpikir karena seolah semuanya sudah tersedia dan tinggal menelannya bulat-bulat, bahkan tak perlu dikunyah dan dimamah terlebih dulu. Sebagaimana terjadi di medsos, orang mudah sekali meng-klik dan share sebuah informasi tanpa terlebih dulu dicek kebenarannya.  

Penyakit selanjutnya adalah muncul dan berkembang biaknya berita hoax atau berita palsu. Berita palsu ini bukan sekadar, apakah ia berjangkar pada realitas atau tidak; berita atau opini, melainkan memang sengaja dibuat untuk tujuan fitnah, memecah belah, membangun tembok kebencian, hate speech, juga mengadu-domba antar sesama.    

Celakanya, banyak orang mudah percaya dan bahkan tanpa sadar ikut menyebarkan berita hoax. Dengan ikut menyebarkannya (klik dan share), secara tidak langsung, ikut berpartisipasi sekaligus mengamini isi berita tersebut. Ia terjebak, terjerumus, dan terseret mata rantai kejahatan.

Bagaimana melawan hoax?

Kita tak bisa membendung arus informasi yang sekarang tengah membanjiri masyarakat lewat teknologi internet. Internet ibarat rimba raya, tanah tak bertuan. Jika tak dibekali “peta” dan “buku panduan” orang bisa tersesat di dalamnya. Internet banyak memberikan manfaat, tapi juga tak sedikit madharatnya. Tinggal bagaimana menyikapi dan mensiasatinya. Globalisasi, lebih cepat dari perkiraan, salah satunya didukung teknologi internet.

Internet semakin mudah diakses berkat teknologi smartphone. Menggenggam smartphone sama halnya dengan menggenggam dunia. Semuanya tersedia di sini. Smartphone adalah dunia kecil (mikrokosmos). Orang bisa melompat dari satu tempat ke tempat lainnya cukup dengan sapuan jari, tanpa harus beranjak dan berpindah tempat. Itulah dunia tanpa batas yang disebut internet. Penemuan manusia paling menakjubkan di Abad ini.    

Nah, untuk mengukur seberapa besar pengaruh internet bagi masyarakat Indonesia, salah satunya, bisa diukur berdasarkan jumlah pengguna internet di negeri ini?

Berdasarkan laporan situs Daily Social (DS) bahwa pengguna internet di Indoensia adalah 83,6 juta, naik 33 % dibanding tahun lalu. (goodnewsfromindonesia.id). dari angka tersebut, mayoritas pengguna didominasi anak muda (umur 20-39). Sisanya diidi generasi tua (umur 40-59).

Pengguna internet di Indonesia kebanyakan lewat gadget sebanyak 85%. Disusul netbook 32%, tablet 14%, dan desktop 13%.

Senada dengan laporan DS, berdasarkan riset Google dan Trans Australia, 50% pemilik smartphone di Indonesia menjadikan piranti itu sebagai peralatan telekomunikasi utama, termasuk untuk mengakses internet. (kompas.com)

Sepanjang tahun, pengguna smartphone di Indonesia terus naik. eMarket mencatat, pada 2016 ada 65,2 juta pengguna smartphone. Sedangkan di 2017 akan ada 74,9 juta pengguna. Diperkirakan pada 2018-2019 akan terus naik di angka 83,5 juta hingga 92 juta mobil phone user di Indonesia. (okezone.com)

Dari data-data tersebut bisa dibaca dengan kaca mata apapun: ekonomi, sosial, politik, atau budaya. Yang pasti, bahwa pengguna internet di Indonesia sangat tinggi dan mayoritas lewat smartphone. Itu artinya siapapun yang bisa mewarnai internet, maka, setidaknya, akan bisa “mengendalikan” kepala banyak orang. Terlebih mayoritas pengguna di negeri ini berasal dari anak muda yang kebanyakan masih pada tahap pencarian diri, terkadang labil dan mudah dipengaruhi.  

Jadi, merebut dan mewarnai internet, terutama media sosial, adalah sebuah pertarungan perebutan masa depan. Jika internet dipenuhi berita hoax yang berisi fitnah, caci maki, adu domba, juga ujaran-ujaran kebencian, maka bisa dibayangkan akan lahir generasi umat manusia seperti apa.

Lantas bagaimana?                        

Membendung hoax lewat jalur kekuasaan (menertibkan dan menerbitkan regulasi) bisa saja dilakukan, namun rawan disalahgunakan. Terutama untuk membungkam lawan-lawan politik atau menjinakkan rakyat. Meskipun agak sedikit lamban, cara paling mudah dan aman adalah menumbuhkan kesadaran kritis di masyarakat, terutama lewat pendidikan, baik pendidikan formal, non-formal, maupun informal. 

Jika masyarakat kritis dalam memilih dan memilah informasi, mereka akan bisa membedakan, mana informasi yang benar, valid, dan berkualitas, dan mana yang abal-abal atau berita hoax. Jika informasi itu ibarat makanan, mereka akan bisa membedakan makanan yang sehat dan bergizi untuk tubuh daripada makanan sampah (junk food) dan berpenyakit. Karena itu, untuk menciptakan generasi sehat tanpa hoax, mulailah dari diri sendiri. Wallahu a’lam bi sawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun