Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perguruan Tinggi Inklusif: Harapan yang Masih Tertunda

3 Desember 2024   21:31 Diperbarui: 3 Desember 2024   21:39 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hari Disabilitas Internasional yang kita peringati hari ini, 3 Desember, adalah momen penting untuk merefleksikan perjalanan panjang perjuangan kelompok disabilitas dalam mendapatkan hak-hak mereka, termasuk hak atas pendidikan. Sebagai seorang akademisi di perguruan tinggi, saya menyaksikan ironi besar yang sering kali luput dari perhatian: meskipun sekolah dan madrasah inklusi mulai bermunculan sebagai bentuk adaptasi terhadap kebutuhan kelompok disabilitas, akses mereka untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi masih sangat terbatas.

Statistik menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan SMA Luar Biasa (SMA-LB) yang mampu melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Bahkan, dari jumlah yang sedikit ini, sebagian besar menghadapi berbagai tantangan yang nyaris tak terlihat oleh masyarakat umum. Tantangan ini bukan hanya soal biaya atau kurangnya dukungan keluarga, tetapi juga minimnya aksesibilitas fisik dan non-fisik di perguruan tinggi. Pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama adalah: apakah perguruan tinggi kita benar-benar inklusif?

Keinginan Kuat, Akses yang Terbatas

Sebagai seorang pengajar, saya sering bertemu dengan individu disabilitas yang memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Mereka memahami bahwa gelar akademik adalah salah satu jalan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup mereka dan memperoleh kemandirian. Sayangnya, jalan menuju perguruan tinggi sering kali penuh rintangan.

Salah satu kendala terbesar adalah aksesibilitas. Fasilitas dasar seperti jalan masuk, ruang kelas, toilet, dan perpustakaan sering kali tidak dirancang untuk mendukung kebutuhan mahasiswa disabilitas. Sebagai contoh, mahasiswa dengan keterbatasan mobilitas sering kali kesulitan mengakses gedung perkuliahan yang tidak memiliki lift atau ramp. Demikian pula, mahasiswa tunanetra menghadapi tantangan besar karena kurangnya bahan ajar dalam format braille atau digital yang ramah akses.

Selain itu, hambatan non-fisik juga tidak kalah signifikan. Stigma sosial dan kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan disabilitas di lingkungan perguruan tinggi menciptakan tekanan psikologis yang besar bagi mereka. Banyak dari mereka merasa terisolasi secara sosial karena minimnya dukungan dari teman sebaya maupun dosen. Akibatnya, impian untuk mendapatkan pendidikan tinggi sering kali terpaksa dipendam dalam jurang yang dalam.

Perjuangan Kelompok Disabilitas untuk Pendidikan

Meskipun menghadapi banyak hambatan, kelompok disabilitas tidak pernah berhenti berjuang. Mereka memahami bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka peluang kerja yang lebih baik dan meningkatkan taraf hidup. Banyak dari mereka yang terus mencari cara untuk mengatasi hambatan ini, mulai dari mencari beasiswa hingga mengikuti program pelatihan yang dirancang khusus untuk disabilitas.

Namun, perjuangan ini tidak seharusnya menjadi tanggung jawab individu semata. Negara, masyarakat, dan perguruan tinggi memiliki kewajiban moral untuk mendukung perjuangan mereka. Dalam konteks ini, sangat penting bagi kita untuk melihat pendidikan sebagai hak asasi manusia yang harus diakses oleh semua orang, tanpa kecuali.

Harapan Akan Perguruan Tinggi Inklusif

Perguruan tinggi inklusif bukan hanya tentang menyediakan fasilitas fisik yang ramah disabilitas, tetapi juga menciptakan lingkungan belajar yang inklusif secara holistik. Hal ini mencakup: 1) Fasilitas Fisik yang Aksesibel. Perguruan tinggi harus memastikan bahwa semua fasilitas, mulai dari ruang kelas hingga perpustakaan, dapat diakses oleh mahasiswa disabilitas. Ini termasuk menyediakan ramp, lift, toilet yang ramah disabilitas, dan ruang kelas dengan desain universal; 2) Sumber Belajar yang Inklusif. Bahan ajar harus disediakan dalam berbagai format, seperti braille, audiobook, atau teks digital yang dapat diakses oleh pembaca layar. Teknologi dapat menjadi alat yang sangat membantu dalam menciptakan sumber belajar yang inklusif; 3) Dukungan Psikososial. Perguruan tinggi harus memiliki layanan konseling dan program pendampingan untuk mendukung mahasiswa disabilitas secara emosional dan sosial. Ini penting untuk membantu mereka merasa diterima dan termotivasi untuk terus belajar; 4) Pelatihan bagi Dosen dan Staf. Dosen dan staf perguruan tinggi perlu diberikan pelatihan tentang inklusivitas, agar mereka memahami cara terbaik untuk mendukung mahasiswa disabilitas. Pelatihan ini juga penting untuk menghilangkan stigma dan stereotip yang masih ada; 5) Kebijakan yang Mendukung. Pemerintah dan perguruan tinggi harus mengembangkan kebijakan yang mendorong partisipasi kelompok disabilitas dalam pendidikan tinggi. Ini termasuk memberikan beasiswa, kuota khusus, atau kemudahan administrasi bagi mahasiswa disabilitas.

Refleksi dan Harapan ke Depan

Hari Disabilitas Internasional ini adalah momen yang tepat untuk merenungkan sejauh mana kita telah melangkah dalam menciptakan pendidikan yang inklusif, terutama di tingkat perguruan tinggi. Sebagai akademisi, saya percaya bahwa pendidikan tinggi bukan hanya soal mencetak individu yang kompeten secara akademik, tetapi juga menciptakan masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.

Generasi disabilitas tidak membutuhkan belas kasihan; mereka membutuhkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan potensi mereka. Mereka ingin diterima sebagai bagian dari masyarakat, bukan diperlakukan sebagai kelompok marginal yang hanya diberikan perhatian sesekali. Perguruan tinggi, sebagai tempat pembentukan generasi masa depan, harus menjadi pelopor dalam mewujudkan inklusivitas ini.

Harapan besar saya adalah melihat perguruan tinggi negeri di Indonesia bertransformasi menjadi institusi yang benar-benar inklusif. Perguruan tinggi yang tidak hanya menerima mahasiswa disabilitas, tetapi juga menyediakan lingkungan yang mendukung mereka untuk berkembang dan sukses. Dengan komitmen dari semua pihak, mimpi ini bukanlah hal yang mustahil.

Mari bersama-sama wujudkan aksesibilitas yang setara bagi kelompok disabilitas di perguruan tinggi, sehingga setiap individu memiliki kesempatan untuk meraih pendidikan yang layak dan bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun