Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Generasi Post-Milenial:Anak-Anak yang 'Tak Tahu Susah' atau Tantangan bagi Pendidikan?

3 Desember 2024   07:58 Diperbarui: 3 Desember 2024   08:04 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seorang ibu mengeluh saat anaknya enggan membantu membersihkan rumah. "Zaman saya dulu, setiap hari harus membantu orang tua tanpa diminta," katanya. Di sisi lain, seorang guru merasa frustrasi karena siswa di kelasnya lebih tertarik bermain game di ponsel daripada mendengarkan pelajaran. 

Fenomena ini bukan cerita asing. Generasi post-milenial---atau sering disebut Generasi Z dan Alfa---memiliki pola pikir, kebutuhan, dan cara belajar yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya, memunculkan tantangan baru bagi orang tua dan sekolah.

Generasi post-milenial tumbuh di era digital, di mana teknologi menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Mereka terbiasa dengan informasi instan, konektivitas global, dan solusi praktis yang ditawarkan oleh teknologi. 

Namun, di balik kenyamanan ini, generasi ini juga menghadapi tantangan unik: kurangnya kesabaran, kesulitan membangun hubungan interpersonal yang mendalam, dan kecenderungan untuk menghindari situasi sulit. Bagaimana sekolah dan orang tua harus beradaptasi dengan karakteristik ini untuk memastikan generasi ini tumbuh menjadi individu yang tangguh dan berdaya saing?

Karakteristik Generasi Post-Milenial 

Karakteristik genarasi post-milenial dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) Digital Native Sejati. Generasi post-milenial lahir ketika internet dan teknologi sudah menjadi kebutuhan primer. Mereka tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi hidup di dalamnya. Smartphone, media sosial, dan platform pembelajaran daring bukan lagi alat tambahan, melainkan lingkungan di mana mereka berkembang; 2) Berorientasi pada Hasil Instan. 

Teknologi mengajarkan mereka untuk menginginkan hasil cepat. Informasi tersedia hanya dengan satu klik, belanja dilakukan tanpa harus keluar rumah, dan hiburan hadir kapan saja. Akibatnya, mereka cenderung tidak sabar menghadapi proses panjang, baik dalam belajar maupun kehidupan sehari-hari; 3) Lebih Terbuka tapi Rentan. Generasi ini dikenal lebih terbuka terhadap isu keberagaman, kesetaraan gender, dan toleransi. 

Namun, di sisi lain, mereka juga lebih rentan terhadap tekanan mental akibat ekspektasi yang dibangun di media sosial dan kurangnya interaksi tatap muka yang mendalam; 4) Kreatif tetapi Kurang Konsistensi. Mereka memiliki ide-ide kreatif yang segar, tetapi sering kali kesulitan mempertahankan fokus atau konsistensi dalam mengerjakan sesuatu hingga selesai.

Tantangan untuk Sekolah

Sekolah adalah tempat utama di mana generasi ini membangun fondasi keterampilan dan karakter mereka. Namun, sistem pendidikan tradisional sering kali tidak relevan dengan kebutuhan generasi post-milenial. 

Beberapa tantangan yang muncul antara lain: 1)Metode Pengajaran yang Kaku. Model belajar satu arah di mana guru menjadi pusat pembelajaran tidak lagi efektif. Generasi ini cenderung bosan jika harus mendengarkan ceramah panjang tanpa adanya interaksi atau aplikasi nyata; 2) Kesenjangan Teknologi. 

Sementara generasi ini sudah sangat mahir menggunakan teknologi, banyak sekolah di Indonesia, terutama di daerah terpencil, masih kekurangan infrastruktur digital yang memadai. Hal ini menciptakan jurang antara kebutuhan siswa dan kemampuan sekolah untuk memenuhinya; 3) Pendidikan Karakter yang Kurang Relevan. 

Pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah sering kali bersifat normatif dan kurang terhubung dengan realitas kehidupan generasi ini. Mereka membutuhkan pendekatan yang lebih praktis dan personal untuk menanamkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, kerja keras, dan empati.

Tantangan bagi Orang Tua

Di rumah, orang tua juga menghadapi tantangan yang tidak kalah berat. Pola asuh tradisional sering kali tidak lagi relevan, sementara pendekatan modern membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang karakter anak-anak post-milenial. Tantangan utama bagi orang tua meliputi:1) Mengatur Penggunaan Teknologi. 

Meski teknologi membawa banyak manfaat, penggunaan yang berlebihan dapat berdampak negatif, seperti adiksi gadget, penurunan fokus, dan kurangnya interaksi sosial. Orang tua perlu menetapkan batasan tanpa menimbulkan konflik besar; 2) Menanamkan Nilai Kesabaran dan Kerja Keras. Anak-anak generasi ini cenderung menghindari proses panjang. 

Orang tua perlu mencari cara untuk menanamkan nilai kesabaran dan kerja keras tanpa terlihat memaksakan norma generasi mereka sendiri; 3) Menghadapi Tekanan Sosial. Ekspektasi tinggi dari media sosial dapat memengaruhi kesehatan mental anak. Orang tua perlu menjadi tempat aman di mana anak-anak merasa didengar dan dihargai.

Bagaimana Sekolah dan Orang Tua Harus Beradaptasi

Menghadapi tantangan ini, sekolah dan orang tua harus bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan optimal generasi post-milenial. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:1) Mengintegrasikan Teknologi Secara Bijak. 

Sekolah harus memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu pembelajaran, seperti menggunakan platform daring untuk proyek kolaboratif atau aplikasi pembelajaran interaktif. Di sisi lain, orang tua perlu mendampingi anak dalam menggunakan teknologi untuk tujuan positif; 2) Mengadopsi Metode Pembelajaran Aktif.


Sekolah perlu mengganti metode pengajaran pasif dengan pendekatan aktif yang melibatkan siswa, seperti pembelajaran berbasis proyek, diskusi kelompok, atau simulasi. Ini tidak hanya membuat pembelajaran lebih menarik, tetapi juga mengajarkan siswa untuk berpikir kritis dan bekerja sama; 3) Menanamkan Pendidikan Karakter yang Relevan. Nilai-nilai seperti empati, tanggung jawab, dan kerja keras harus diajarkan melalui contoh nyata, baik di sekolah maupun di rumah. 

Orang tua dan guru perlu menjadi role model yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; 4) Membangun Keterampilan Sosial. Dengan kurangnya interaksi tatap muka, sekolah dan orang tua harus menciptakan kesempatan bagi anak-anak untuk berlatih keterampilan sosial, seperti berbicara di depan umum, memecahkan masalah dalam kelompok, dan memahami perspektif orang lain; 5) Mendukung Kesehatan Mental. 

Generasi ini membutuhkan dukungan emosional yang lebih besar. Sekolah dapat menyediakan konselor yang terlatih, sementara orang tua harus menciptakan komunikasi yang terbuka dan suportif di rumah.

Generasi post-milenial bukanlah generasi yang "tak tahu susah," tetapi generasi yang tumbuh dalam konteks yang sangat berbeda dari pendahulunya. Mereka menghadirkan tantangan baru bagi sistem pendidikan dan pola asuh, tetapi juga membawa peluang besar untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif dan inovatif.

Sekolah dan orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk memahami karakteristik generasi ini dan beradaptasi dengan kebutuhan mereka. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat membentuk generasi post-milenial menjadi individu yang tidak hanya cerdas dan kreatif, tetapi juga tangguh dan bermoral.

 Tantangan ini adalah peluang kita untuk menciptakan pendidikan dan pola asuh yang relevan, modern, dan bermakna bagi masa depan. Mari bersama-sama mendukung mereka untuk menjadi generasi yang membawa Indonesia ke puncak kejayaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun