Seorang ibu mengeluh saat anaknya enggan membantu membersihkan rumah. "Zaman saya dulu, setiap hari harus membantu orang tua tanpa diminta," katanya. Di sisi lain, seorang guru merasa frustrasi karena siswa di kelasnya lebih tertarik bermain game di ponsel daripada mendengarkan pelajaran.Â
Fenomena ini bukan cerita asing. Generasi post-milenial---atau sering disebut Generasi Z dan Alfa---memiliki pola pikir, kebutuhan, dan cara belajar yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya, memunculkan tantangan baru bagi orang tua dan sekolah.
Generasi post-milenial tumbuh di era digital, di mana teknologi menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Mereka terbiasa dengan informasi instan, konektivitas global, dan solusi praktis yang ditawarkan oleh teknologi.Â
Namun, di balik kenyamanan ini, generasi ini juga menghadapi tantangan unik: kurangnya kesabaran, kesulitan membangun hubungan interpersonal yang mendalam, dan kecenderungan untuk menghindari situasi sulit. Bagaimana sekolah dan orang tua harus beradaptasi dengan karakteristik ini untuk memastikan generasi ini tumbuh menjadi individu yang tangguh dan berdaya saing?
Karakteristik Generasi Post-MilenialÂ
Karakteristik genarasi post-milenial dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) Digital Native Sejati. Generasi post-milenial lahir ketika internet dan teknologi sudah menjadi kebutuhan primer. Mereka tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi hidup di dalamnya. Smartphone, media sosial, dan platform pembelajaran daring bukan lagi alat tambahan, melainkan lingkungan di mana mereka berkembang; 2) Berorientasi pada Hasil Instan.Â
Teknologi mengajarkan mereka untuk menginginkan hasil cepat. Informasi tersedia hanya dengan satu klik, belanja dilakukan tanpa harus keluar rumah, dan hiburan hadir kapan saja. Akibatnya, mereka cenderung tidak sabar menghadapi proses panjang, baik dalam belajar maupun kehidupan sehari-hari; 3) Lebih Terbuka tapi Rentan. Generasi ini dikenal lebih terbuka terhadap isu keberagaman, kesetaraan gender, dan toleransi.Â
Namun, di sisi lain, mereka juga lebih rentan terhadap tekanan mental akibat ekspektasi yang dibangun di media sosial dan kurangnya interaksi tatap muka yang mendalam; 4) Kreatif tetapi Kurang Konsistensi. Mereka memiliki ide-ide kreatif yang segar, tetapi sering kali kesulitan mempertahankan fokus atau konsistensi dalam mengerjakan sesuatu hingga selesai.
Tantangan untuk Sekolah
Sekolah adalah tempat utama di mana generasi ini membangun fondasi keterampilan dan karakter mereka. Namun, sistem pendidikan tradisional sering kali tidak relevan dengan kebutuhan generasi post-milenial.Â
Beberapa tantangan yang muncul antara lain: 1)Metode Pengajaran yang Kaku. Model belajar satu arah di mana guru menjadi pusat pembelajaran tidak lagi efektif. Generasi ini cenderung bosan jika harus mendengarkan ceramah panjang tanpa adanya interaksi atau aplikasi nyata; 2) Kesenjangan Teknologi.Â