Seorang guru di sebuah sekolah di pelosok Indonesia menghadapi dilema besar saat mencoba menerapkan Kurikulum Merdeka.Â
Ia harus menyesuaikan pembelajaran berbasis proyek dengan keterbatasan sumber daya sekolah, termasuk buku, perangkat digital, bahkan koneksi internet.Â
Di sisi lain, seorang guru di kota besar menghadapi tantangan yang berbeda: siswa yang sudah terbiasa dengan perangkat teknologi justru kesulitan membangun kerja sama dalam kelompok atau memahami esensi nilai-nilai karakter.Â
Fenomena ini menggambarkan realitas di lapangan, di mana Kurikulum Merdeka, meski penuh idealisme, menghadapi berbagai hambatan implementasi di berbagai konteks sosial.
Kurikulum Merdeka: Sebuah Idealisme Pendidikan
Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan yang lebih relevan dengan tantangan zaman.Â
Konsep ini bertujuan memberikan kebebasan kepada guru dan siswa untuk mengeksplorasi pembelajaran yang bermakna, mendorong pembelajaran berbasis proyek, serta menanamkan nilai-nilai karakter.Â
Kurikulum ini mengutamakan pendekatan yang fleksibel, berorientasi pada siswa, dan memungkinkan sekolah untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal.
Dalam teorinya, Kurikulum Merdeka menawarkan solusi atas berbagai kritik terhadap sistem pendidikan tradisional yang dianggap terlalu kaku dan berorientasi pada hasil akademik semata.Â
Pembelajaran berbasis proyek, misalnya, bertujuan untuk melatih siswa berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif --kompetensi abad ke-21 yang sangat dibutuhkan di dunia kerja.Â