Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahasa Makassar di Tengah Kalimantan

26 November 2024   19:28 Diperbarui: 26 November 2024   19:33 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, di depan laptopku, secangkir kopi hampir mendingin di samping setumpuk file tugas mahasiswa PPG K2. Salah satu tugas dari modul Pengembangan Perangkat Pembelajaran menarik perhatianku. Di sana, seorang mahasiswa menyusun struktur mata pelajaran untuk sekolahnya. Namun, ada satu mata pelajaran yang membuatku mengernyitkan dahi: Bahasa Makassar.

"Bahasa Makassar?" gumamku. Bukankah sekolah ini berada di Kalimantan Selatan?

Aku memeriksa kembali tugas tersebut, memastikan tidak salah baca. Rasa bingung bercampur geli. Mungkin ini kekhilafan biasa. Namun, kekeliruan seperti ini penting untuk diluruskan, terutama bagi calon pendidik. Aku memutuskan mengangkat hal ini di grup WhatsApp K2.

"Rekan-rekan K2, saya menemukan sesuatu yang unik di tugas salah satu dari Anda. Ada mata pelajaran Bahasa Makassar di struktur sekolah di Kalimantan Selatan. Bisa direvisi, ya, agar sesuai."

Pesanku terkirim. Aku membayangkan akan ada respons ringan, mungkin disertai tawa kecil. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

"Ini pasti copy-paste," tulis Abdi, seperti biasa dengan gayanya yang blak-blakan. "Siapa sih yang kerjain tugas nggak niat gini? Malu dong sama diri sendiri."

Chat Abdi disusul emoji facepalm. Grup mendadak ramai.

"Betul, Mas Abdi," balas salah satu mahasiswa. "Kita kan calon pendidik. Jangan sampai tugas kita asal-asalan."

Komentar demi komentar bermunculan, beberapa terlihat menyindir, beberapa lainnya hanya diam. Tapi aku tahu, di balik layar, pasti ada seseorang yang hatinya berdebar keras.

Aku ingin menenangkan suasana, tapi sebelum sempat mengetikkan pesan, sebuah balasan masuk. Kali ini dari Tri Indah, yang biasanya lebih bijak dalam berbicara.

"Teman-teman, mungkin ini hanya kekhilafan. Kita semua pernah khilaf, bukan? Jangan terlalu keras menilai," tulisnya.

Namun, Abdi tidak menyerah. "Kalau salah sih wajar, Tri. Tapi ya nggak gini juga. Masa Bahasa Makassar muncul di Kalimantan Selatan? Nggak masuk akal."

Pesan itu menusuk. Aku membayangkan seseorang di balik layar yang mungkin sedang menundukkan kepala dengan penuh rasa bersalah. Aku mengetik balasan dengan hati-hati.

"Rekan-rekan, mari kita lihat ini sebagai momen belajar. Kesalahan adalah bagian dari proses, dan tugas kita adalah memperbaikinya, bukan saling menyalahkan."

Grup sempat hening beberapa saat, hingga akhirnya sebuah pesan muncul. Kali ini dari Santi.

"Pak, mohon maaf," tulisnya. "Itu tugas saya. Saya akui, saya salah. Saya terlalu terburu-buru dan memang sempat meng-copas dari contoh di internet. Saya nggak bermaksud seperti ini."

Pesan Santi diikuti emoji menangis. Aku bisa merasakan perasaan bersalahnya yang dalam.

"Sudah saya duga," balas Abdi. "Tapi kenapa nggak dicek dulu, Santi? Ini kan tugas serius."

Namun, sebelum suasana makin memanas, Tri Indah kembali hadir menenangkan.

"Santi, nggak apa-apa. Kita semua pernah salah. Yang penting kamu mau mengaku dan memperbaikinya. Aku yakin Bapak dosen dan teman-teman juga paham."

Aku membaca balasan Tri Indah dengan lega. Sosok seperti dia seringkali menjadi perekat di dalam kelompok. Aku pun merasa perlu menutup diskusi ini dengan sesuatu yang inspiratif.

"Santi, saya apresiasi keberanianmu untuk mengakui kesalahan. Abdi, saya juga paham maksudmu ingin menjaga kualitas. Tapi ingat, proses belajar bukan hanya tentang tugas sempurna, melainkan tentang bagaimana kita saling menguatkan di tengah perjalanan. Dari kesalahan, kita belajar menjadi lebih baik. Dan dari kebaikan hati, kita belajar menjadi manusia seutuhnya."

Pesanku diikuti reaksi dari berbagai mahasiswa, sebagian besar mendukung dan menenangkan Santi. Abdi pun akhirnya merespons, kali ini dengan nada yang lebih lembut.

"Maaf kalau saya terlalu keras tadi, Santi. Maksud saya cuma supaya kita lebih hati-hati. Semangat ya, kita selesaikan ini sama-sama."

Setelah percakapan itu, aku memandangi layar ponsel. Dalam kesederhanaan grup WhatsApp ini, aku menyaksikan sebuah drama kecil yang penuh pelajaran. Kesalahan memang bisa menjadi awal dari konflik, tapi juga bisa menjadi jembatan menuju pengertian, selama ada keberanian untuk mengakui dan keikhlasan untuk memaafkan.

Aku mengetik pesan terakhir sebelum malam semakin larut.

"Hidup adalah perjalanan penuh khilaf dan perbaikan. Jangan takut salah, karena kesalahan hanyalah pintu menuju kebijaksanaan, asalkan kita mau belajar darinya."

Malam itu, aku menutup ponsel dengan hati yang hangat. Kelompok K2 tidak hanya belajar tentang perangkat pembelajaran, tetapi juga tentang perangkat kehidupan---saling menghormati, memahami, dan mendukung. Sebuah cerita sederhana, tapi penuh makna yang tak terlupakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun