Pesanku diikuti reaksi dari berbagai mahasiswa, sebagian besar mendukung dan menenangkan Santi. Abdi pun akhirnya merespons, kali ini dengan nada yang lebih lembut.
"Maaf kalau saya terlalu keras tadi, Santi. Maksud saya cuma supaya kita lebih hati-hati. Semangat ya, kita selesaikan ini sama-sama."
Setelah percakapan itu, aku memandangi layar ponsel. Dalam kesederhanaan grup WhatsApp ini, aku menyaksikan sebuah drama kecil yang penuh pelajaran. Kesalahan memang bisa menjadi awal dari konflik, tapi juga bisa menjadi jembatan menuju pengertian, selama ada keberanian untuk mengakui dan keikhlasan untuk memaafkan.
Aku mengetik pesan terakhir sebelum malam semakin larut.
"Hidup adalah perjalanan penuh khilaf dan perbaikan. Jangan takut salah, karena kesalahan hanyalah pintu menuju kebijaksanaan, asalkan kita mau belajar darinya."
Malam itu, aku menutup ponsel dengan hati yang hangat. Kelompok K2 tidak hanya belajar tentang perangkat pembelajaran, tetapi juga tentang perangkat kehidupan---saling menghormati, memahami, dan mendukung. Sebuah cerita sederhana, tapi penuh makna yang tak terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H