Namun, Abdi tidak menyerah. "Kalau salah sih wajar, Tri. Tapi ya nggak gini juga. Masa Bahasa Makassar muncul di Kalimantan Selatan? Nggak masuk akal."
Pesan itu menusuk. Aku membayangkan seseorang di balik layar yang mungkin sedang menundukkan kepala dengan penuh rasa bersalah. Aku mengetik balasan dengan hati-hati.
"Rekan-rekan, mari kita lihat ini sebagai momen belajar. Kesalahan adalah bagian dari proses, dan tugas kita adalah memperbaikinya, bukan saling menyalahkan."
Grup sempat hening beberapa saat, hingga akhirnya sebuah pesan muncul. Kali ini dari Santi.
"Pak, mohon maaf," tulisnya. "Itu tugas saya. Saya akui, saya salah. Saya terlalu terburu-buru dan memang sempat meng-copas dari contoh di internet. Saya nggak bermaksud seperti ini."
Pesan Santi diikuti emoji menangis. Aku bisa merasakan perasaan bersalahnya yang dalam.
"Sudah saya duga," balas Abdi. "Tapi kenapa nggak dicek dulu, Santi? Ini kan tugas serius."
Namun, sebelum suasana makin memanas, Tri Indah kembali hadir menenangkan.
"Santi, nggak apa-apa. Kita semua pernah salah. Yang penting kamu mau mengaku dan memperbaikinya. Aku yakin Bapak dosen dan teman-teman juga paham."
Aku membaca balasan Tri Indah dengan lega. Sosok seperti dia seringkali menjadi perekat di dalam kelompok. Aku pun merasa perlu menutup diskusi ini dengan sesuatu yang inspiratif.
"Santi, saya apresiasi keberanianmu untuk mengakui kesalahan. Abdi, saya juga paham maksudmu ingin menjaga kualitas. Tapi ingat, proses belajar bukan hanya tentang tugas sempurna, melainkan tentang bagaimana kita saling menguatkan di tengah perjalanan. Dari kesalahan, kita belajar menjadi lebih baik. Dan dari kebaikan hati, kita belajar menjadi manusia seutuhnya."