Angin sore menerobos masuk melalui celah jendela ruang kelas kami, membawa serta keheningan yang penuh tanya. Di meja diskusi, tampak grafik yang baru saja dipresentasikan oleh dosen kami, Dayamaruf, yang dikenal tenang dan berwibawa. Grafik itu membandingkan tingkat literasi di negara-negara mayoritas muslim dengan negara-negara Barat. Angka-angka itu berbicara dengan suara yang dingin: ada jarak yang tak bisa diabaikan.
"Lalu, teori mana yang harus kita gunakan untuk menjelaskan ini?" tanya Pak Dayamaruf, dengan nada lembut namun penuh makna. "Apakah teori literasi Islam, dengan prinsip-prinsip ilahiah yang berpusat pada wahyu? Atau teori Barat, yang sering didasarkan pada empirisme dan sekularisme?"
Pertanyaan itu membakar diskusi kami. Sebagai mahasiswa doktoral, kami sering dihadapkan pada dilema semacam ini: memilih antara akar tradisi kita atau mengikuti paradigma yang telah teruji secara global.
Herlina adalah yang pertama angkat bicara, suaranya tegas seperti biasa. "Menurutku, literasi yang kita gunakan harus berakar pada teori Islam. Islam memiliki pandangan holistik yang tidak hanya melihat aspek kognitif, tapi juga aspek moral dan spiritual. Teori Barat terlalu mekanis, terlalu berjarak dari nilai-nilai kemanusiaan."
Hamli, menambahkan. "Aku setuju dengan Herlina. Teori Islam itu komprehensif. Dalam Al-Qur'an, literasi tidak hanya tentang membaca teks, tapi juga memahami tanda-tanda alam dan kehidupan. Literasi dalam Islam membawa manusia lebih dekat pada penciptanya."
Rohama, yang biasanya tenang, kali ini berbicara dengan nada yang sedikit bimbang. "Aku setuju bahwa teori Islam memiliki kelebihan, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan teori Barat. Mereka punya pendekatan yang teruji, seperti sistem pengukuran yang jelas dan terstruktur. Aku rasa, kita bisa mengambil kebaikan dari keduanya."
Perkataan Rohama membuat suasana semakin hidup. Herlina langsung menanggapinya. "Tapi Rohama, mencampuradukkan dua teori yang bertolak belakang itu bisa membingungkan. Kita perlu koherensi dalam pendekatan kita."
Hamli menimpali. "Betul itu. Kalau kita terlalu fleksibel, evaluasi kita kehilangan landasan. Literasi Islam sudah cukup kaya untuk menjadi fondasi."
Aku duduk diam, mendengarkan argumen yang saling bersilang. Dalam hati, aku setuju dengan beberapa poin dari masing-masing pihak, tapi aku belum menemukan jawaban yang benar-benar memuaskan.
Di tengah diskusi yang semakin memanas, suara lembut namun tegas muncul dari sisi ruangan. Itu adalah Risyabani, yang selama ini jarang terlibat dalam perdebatan. Dia dikenal sebagai sosok yang tenang, tapi setiap kata-katanya selalu meninggalkan bekas.
"Teman-teman," katanya, suaranya memecah keheningan. "Menurutku, perdebatan ini menarik, tapi ada sesuatu yang perlu kita pertimbangkan. Entah kita memilih teori Islam atau teori Barat, yang paling penting adalah koherensi. Apakah teori yang kita gunakan mampu menjelaskan semua variabel secara konsisten? Kalau iya, itu lebih baik daripada mencampur aduk teori atau bahkan berdebat soal mana yang lebih unggul."
Semua mata tertuju padanya. Bahkan Herlina, yang biasanya gigih dalam mempertahankan pendapatnya, tampak terdiam sejenak.
Risyabani melanjutkan, "Kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam dikotomi Islam versus Barat. Apa pun teori yang kita pilih, selama itu koheren dari awal hingga akhir, maka itulah yang terbaik. Literasi itu, pada akhirnya, adalah soal pemahaman yang mendalam, bukan soal identitas teori."
Kata-katanya mengendap di udara seperti tetes air hujan yang jatuh di tanah kering. Aku merasa seperti baru saja diberikan perspektif yang segar, sesuatu yang melampaui perdebatan yang sudah berlangsung.
Pak Dayamaruf tersenyum kecil, lalu menambahkan dengan nada yang menenangkan, "Apa yang dikatakan Risyabani sangat penting. Teori, apa pun asalnya, adalah alat. Yang membuatnya kuat adalah koherensi dan relevansinya dengan konteks penelitian kita. Literasi adalah jembatan menuju pemahaman, bukan medan perang antara dua kubu."
Suasana diskusi berubah menjadi lebih tenang. Rohama tampak merenung, sementara Herlina dan Hamli saling bertukar pandang, seolah mencoba mencerna sudut pandang baru yang ditawarkan Risyabani.
Di akhir kelas, aku mendapati diriku mengingat kembali angka-angka di grafik tadi. Literasi bukan hanya soal teori, tapi juga soal bagaimana teori itu diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan mungkin, seperti yang dikatakan Risyabani, koherensi adalah kunci yang sering kita abaikan.
Ketika kami meninggalkan ruangan, Risyabani tersenyum padaku dan berkata pelan, "Teori hanyalah jendela. Apa yang kita lihat melalui jendela itu tergantung pada seberapa jelas kita memahami gambaran di luar sana."
Kata-kata itu seperti penutup sempurna untuk diskusi kami. Aku merenung, menyadari bahwa mungkin, dalam upaya kita memahami dunia, yang terpenting bukanlah teori yang kita pilih, tapi bagaimana teori itu membantu kita menemukan cahaya.
Saat diskusi usai dan kami mulai berkemas, suasana ruangan yang tadinya serius berubah lebih santai. Risyabani, dengan tenangnya, bersiap pergi sambil membawa laptopnya. Namun, Â Samuel, yang sejak tadi diam, tiba-tiba melontarkan komentar khasnya.
"Jadi, teori yang kita pakai harus koheren, ya? Kalau aku sih teori favoritku cuma satu---teori gaji. Asal gajinya cukup, teori mana pun jadi masuk akal!" katanya dengan wajah serius, tapi jelas berniat menghibur.
Tawa langsung pecah di ruangan. Bahkan Hamli, yang biasanya serius, sampai tertawa terpingkal-pingkal. Herlina, yang jarang menunjukkan ekspresi santai, menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar.
Samuel melanjutkan, "Tapi kalau kita pakai teori Islam, kayaknya aku bakal jadi lebih rajin kerja. Kalau pakai teori Barat, mungkin aku cuma rajin cari Netflix!"
Pak Dayamaruf, yang biasanya menjaga wibawa, kali ini ikut tersenyum kecil sambil berkata, "Samuel, kalau semua teori bisa membuatmu rajin kerja, mungkin kita harus bahas teori motivasi minggu depan."
Tawa kembali meledak, dan suasana yang tadinya penuh ketegangan berubah menjadi keakraban yang hangat. Aku keluar dari ruangan sambil tersenyum, menyadari bahwa diskusi ini bukan hanya soal teori, tapi juga soal bagaimana kami, dengan segala perbedaan pandangan, bisa tetap menemukan tawa di tengah perjalanan panjang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H