Semua mata tertuju padanya. Bahkan Herlina, yang biasanya gigih dalam mempertahankan pendapatnya, tampak terdiam sejenak.
Risyabani melanjutkan, "Kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam dikotomi Islam versus Barat. Apa pun teori yang kita pilih, selama itu koheren dari awal hingga akhir, maka itulah yang terbaik. Literasi itu, pada akhirnya, adalah soal pemahaman yang mendalam, bukan soal identitas teori."
Kata-katanya mengendap di udara seperti tetes air hujan yang jatuh di tanah kering. Aku merasa seperti baru saja diberikan perspektif yang segar, sesuatu yang melampaui perdebatan yang sudah berlangsung.
Pak Dayamaruf tersenyum kecil, lalu menambahkan dengan nada yang menenangkan, "Apa yang dikatakan Risyabani sangat penting. Teori, apa pun asalnya, adalah alat. Yang membuatnya kuat adalah koherensi dan relevansinya dengan konteks penelitian kita. Literasi adalah jembatan menuju pemahaman, bukan medan perang antara dua kubu."
Suasana diskusi berubah menjadi lebih tenang. Rohama tampak merenung, sementara Herlina dan Hamli saling bertukar pandang, seolah mencoba mencerna sudut pandang baru yang ditawarkan Risyabani.
Di akhir kelas, aku mendapati diriku mengingat kembali angka-angka di grafik tadi. Literasi bukan hanya soal teori, tapi juga soal bagaimana teori itu diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan mungkin, seperti yang dikatakan Risyabani, koherensi adalah kunci yang sering kita abaikan.
Ketika kami meninggalkan ruangan, Risyabani tersenyum padaku dan berkata pelan, "Teori hanyalah jendela. Apa yang kita lihat melalui jendela itu tergantung pada seberapa jelas kita memahami gambaran di luar sana."
Kata-kata itu seperti penutup sempurna untuk diskusi kami. Aku merenung, menyadari bahwa mungkin, dalam upaya kita memahami dunia, yang terpenting bukanlah teori yang kita pilih, tapi bagaimana teori itu membantu kita menemukan cahaya.
Saat diskusi usai dan kami mulai berkemas, suasana ruangan yang tadinya serius berubah lebih santai. Risyabani, dengan tenangnya, bersiap pergi sambil membawa laptopnya. Namun, Â Samuel, yang sejak tadi diam, tiba-tiba melontarkan komentar khasnya.
"Jadi, teori yang kita pakai harus koheren, ya? Kalau aku sih teori favoritku cuma satu---teori gaji. Asal gajinya cukup, teori mana pun jadi masuk akal!" katanya dengan wajah serius, tapi jelas berniat menghibur.
Tawa langsung pecah di ruangan. Bahkan Hamli, yang biasanya serius, sampai tertawa terpingkal-pingkal. Herlina, yang jarang menunjukkan ekspresi santai, menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar.