Objektivitas, pikirku, mungkin hanyalah sebuah lentera. Terang, tapi tak sepenuhnya menyingkap kegelapan. Dan di balik terang itu, ada bayangan yang selalu mengikuti---subjektivitas yang tak terhindarkan.
Dalam hati, aku bertanya-tanya: apakah kita benar-benar mengejar objektivitas, atau sekadar bersembunyi di baliknya, berharap dunia tak terlalu keras menilai ketidaksempurnaan kita? Mungkin, seperti evaluasi itu sendiri, kebenaran selalu terselubung, menunggu untuk dilihat dari sudut pandang yang baru.
Saat kelas berakhir, grup WhatsApp kami mulai ramai dengan candaan khas Samuel. "Jadi subjektif atau objektif, teman-teman? Kalau aku sih subjektif mau traktir, tapi objektifnya lagi nggak ada uang!"
Tawa memenuhi grup, membawa suasana ringan setelah diskusi yang berat. Aku duduk merenung, menyadari bahwa di balik perdebatan antara subjektivitas dan objektivitas, yang sebenarnya kami cari adalah keseimbangan. Keseimbangan yang, seperti evaluasi itu sendiri, tidak pernah benar-benar selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H