Dosen kami, Dinda Hermida, akhirnya angkat bicara, memecah ketegangan dengan suaranya yang lembut namun penuh wibawa. "Aku sependapat dengan Herlina dan Hamli. Evaluasi memang tidak sepenuhnya bebas dari bias, tapi kita membutuhkan pedoman yang dirancang untuk mendekati objektivitas. Tanpa itu, evaluasi kehilangan kredibilitas."
Ruangan hening. Sidik, yang tadi menjadi pusat perhatian, kini hanya tersenyum pasrah. Ia tampak menerima kritik yang datang bertubi-tubi dengan lapang dada. Namun, aku bisa merasakan sesuatu yang ganjil. Diskusi ini terasa seperti pertempuran, bukan pencarian kebenaran.
Tiba-tiba, Rohama berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah. "Kalian semua berbicara tentang evaluasi seolah-olah itu hanya angka, standar, dan tujuan. Tapi bagaimana dengan manusia yang dievaluasi? Di mana tempat mereka dalam kerangka objektivitas kalian?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, membawa keheningan yang mendalam. Semua orang tampak merenung, termasuk Herlina dan Hamli. Bahkan Bu Dinda terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab.
"Rohama, kau benar. Objektivitas adalah alat, bukan tujuan akhir. Evaluasi yang baik adalah yang menghormati manusia yang dievaluasi, tanpa kehilangan keadilan."
Kata-kata itu seperti angin yang menenangkan suasana. Rohama akhirnya tersenyum kecil, meskipun jelas ia masih merasa ada yang belum terjawab.
Namun, saat kami berpikir diskusi ini akan berakhir damai, Sidik tiba-tiba angkat bicara, untuk pertama kalinya dengan nada yang lebih tegas.
"Aku ingin menambahkan satu hal," katanya, membuat semua orang menoleh. "Apa yang kita sebut objektivitas memang ideal, tapi itu bukan alasan untuk mengabaikan kompleksitas manusia. Subjektivitas itu bukan kelemahan; itu adalah bagian dari proses evaluasi."
Hamli tertawa kecil. "Betul itu, Sidik. Tapi yang penting, jangan terlalu banyak ma-hual. Evaluasi itu seperti jalan. Yang penting kita jalan dulu, nanti kalau ada lubang, ya kita perbaiki."
Tawa kecil memenuhi ruangan, mencairkan ketegangan. Bahkan Rohama pun akhirnya tersenyum, meskipun jelas ia masih menyimpan banyak pemikiran.
Setelah kelas usai, aku merenung dalam keheningan. Perdebatan tadi, yang begitu sengit, membawaku pada satu kesimpulan sederhana: objektivitas, sebagaimana sering kita agungkan, ternyata tidak pernah benar-benar murni. Ia selalu terselubung oleh niat, bias, dan persepsi manusia yang merumuskannya.