Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Guruku, Jangan Berjuang Sendiri

9 November 2024   23:47 Diperbarui: 9 November 2024   23:49 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu langit tampak mendung ketika aku memasuki kelas. Riuh rendah percakapan mahasiswa PPG langsung mereda begitu aku masuk, seakan angin dingin pagi itu ikut membawa suasana serius yang memenuhi ruangan. 

Di hadapanku, duduklah sekitar tiga puluh peserta PPG---wajah-wajah yang penuh tekad namun tersirat keletihan. Kuliah kali ini membahas tentang "Peran Guru sebagai Agen Perubahan." Topik yang, bagiku, lebih dari sekadar teori. Topik ini berisi kenyataan dan tantangan nyata dalam dunia pendidikan.

Aku melirik ke arah Dani, seorang mahasiswa dengan ekspresi berpikir mendalam yang duduk di baris tengah. Dia adalah guru muda dari sebuah desa di Hulu Sungai, yang baru saja beberapa bulan lalu menerima surat penempatan di sekolah yang hanya memiliki satu ruang kelas. Dani selalu punya pertanyaan tajam, yang kadang membuatku harus berhenti dan berpikir dua kali.

"Pak, sebenarnya, apa yang dimaksud sebagai 'agen perubahan' dalam kondisi seperti sekolah kami?" tanyanya dengan suara mantap.

Aku mengangguk. Pertanyaan ini, walaupun sederhana, sangatlah dalam. "Menjadi agen perubahan itu bukan hanya tentang membuat perubahan besar, Dani. Kadang, itu berarti memberikan sedikit lebih banyak perhatian kepada murid yang butuh dukungan, atau mengusahakan agar mereka tetap memiliki harapan."

Dani terdiam, tapi aku tahu ia masih menyimpan keraguan. Kulihat wajah-wajah lain di kelas, sebagian mulai menunduk, merenungkan kata-kataku.

"Lalu, bagaimana, Pak, kalau kita sendiri yang butuh dukungan?" suara lembut Farida Zulaiha, mahasiswa lain, terdengar dari ujung ruangan. "Kadang kita harus berjuang sendirian, dan jujur saja, itu melelahkan."

Aku tersenyum simpul, mengingatkan diriku sendiri bahwa mereka memang butuh lebih dari sekadar teori. "Itu sebabnya kalian di sini," kataku dengan lembut. "Karena kalian adalah generasi guru yang tak hanya kuat, tapi juga tahu kapan harus meminta dukungan. Menjadi agen perubahan artinya membangun jaringan---bersama-sama menghadapi tantangan. Tidak ada guru yang harus berjuang sendirian."

Di tengah diskusi, pintu kelas mendadak terbuka, dan Bu Rini, kepala program studi, melangkah masuk dengan raut serius. "Dr. Ahmad, kita perlu bicara nanti," katanya singkat sebelum melangkah keluar tanpa menunggu jawabanku. Seisi kelas hening. Aku tersenyum sejenak kepada mahasiswa, berusaha menyembunyikan perasaan tegang di hatiku.

Di ruang dosen, Bu Rini menungguku. Senyumnya tipis saat menyuruhku duduk.

"Pak Ahmad, ada beberapa keluhan dari dosen lain," katanya perlahan. "Metode Bapak terlalu 'ideal' menurut mereka. Mereka merasa Bapak terlalu menekankan aspek moral dan idealisme pada mahasiswa, sedangkan mereka merasa kita harus lebih realistis."

"Realistis, Bu?" tanyaku sambil menahan nada yang lebih tajam dari biasanya. "Bukankah tugas kita bukan hanya menyampaikan teori, tetapi juga menginspirasi? Mereka ini akan menjadi guru di tempat-tempat yang penuh tantangan. Jika kita hanya memberi mereka apa yang mudah, bukankah kita tidak sedang mempersiapkan mereka dengan baik?"

Bu Rini menghela napas. "Saya tahu, Pak Ahmad. Tapi ingat, kita juga harus memastikan kurikulum berjalan sesuai rencana. Kadang, beberapa dosen merasa metode Bapak bisa terlalu membebani mahasiswa."

Aku menatapnya sejenak, menyadari bahwa ini lebih dari sekadar perbedaan pandangan. Mungkin sebagian dosen merasa metodeku, yang mengajak mahasiswa berdiskusi terbuka tentang idealisme dan realitas, kurang sesuai dengan sistem penilaian yang baku. Tapi bagiku, pendidikan bukan sekadar soal hasil, melainkan proses membentuk manusia.

"Baik, Bu. Saya akan mencoba menyeimbangkannya," jawabku akhirnya, meskipun dalam hati, aku merasa belum puas.

Keesokan harinya, aku kembali ke kelas. Hari itu aku memutuskan untuk mencoba pendekatan yang berbeda, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai yang kuanggap penting. Aku memulai dengan sebuah cerita.

"Pernahkah kalian mendengar tentang seorang guru yang mengajar di sekolah tanpa papan tulis, hanya berbekal kapur di tembok sekolahnya yang usang?" tanyaku membuka pertemuan.

Beberapa mahasiswa mengangguk penasaran. "Guru itu setiap hari menghadap murid-muridnya dengan penuh senyum, meski ia tahu bahwa kapur itu tak akan bertahan lama. Tapi ia selalu percaya, bahkan di tempat yang sederhana, pendidikan itu adalah proses bertumbuh---bukan sekadar alat atau fasilitas."

Dani tersenyum mendengar cerita itu, seolah ia melihat dirinya dalam kisah tersebut. Aku yakin, cerita ini memberi mereka sesuatu untuk direnungkan. Namun, suasana kelas mendadak berubah ketika Pak Taufik, dosen senior yang terkenal disiplin, memasuki kelas tanpa permisi.

"Maaf mengganggu, Pak Ahmad," katanya datar. "Saya hanya ingin menegaskan bahwa program ini juga harus memenuhi syarat penilaian akademik dengan jelas."

Aku mengangguk hormat, meskipun ada rasa enggan dalam diriku. Setelah Pak Taufik pergi, mahasiswa mulai saling berbisik.

"Pak, jadi kami harus fokus pada nilai, bukan? Padahal kami ingin belajar lebih banyak tentang menjadi guru yang benar-benar paham kebutuhan siswa," ujar Rahmat, mahasiswa lainnya, dengan nada kesal.

Aku tersenyum tipis, berusaha menjaga agar suasana tetap terkendali. "Kalian tetap harus mengikuti kurikulum, tapi juga ingatlah, pendidikan itu jauh lebih luas. Jangan takut untuk menjadi guru yang melampaui nilai dan angka."

Hari itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Antara idealisme dan tuntutan yang harus kukelola, rasanya seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Tapi di tengah malam, ketika aku memikirkan wajah-wajah mahasiswa yang penuh semangat itu, aku tahu aku harus tetap berpegang pada apa yang kuyakini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun