Jika seseorang bertanya kepadaku, ”Kapan masa-masa kegelisahanmu berawal?"
Curhatan singkat, aku menjawab dengan hati yang berat walau harus tersenyum kepalsuan.
Memori-memoriku yang jujur akan bercerita tentang sulitnya perjuangan masa itu. Sangat banyak hal yang tidak aku mengerti takala wajah engkau selalu hadir mengukir langit-langit di atap kamar tidurku tanpa bisa aku mengusirnya bahkan sampai pagi datang menegur salam.
Memang tidak nyaman memiliki rasa resah, gelisah, berdebar tak menentu dan terkadang dirundung rasa cemburu yang tinggi. Tapi itulah fenomena jatuh cinta.
Setiap buku, majalah, novel bahkan analisaku menjelaskan dengan gamblang. Dorongan hati yang untuk menemui sangat kuat mengganggu tiap detik kehidupan. Meskipun tanpa sepatah kata terucap atau hanya bisa menatap dari balik selimut karena hajat hati hanya bisa aku alurkan lewat doa dan kepercayaanku terhadap engkau yang jauh.
Ya Allah, mengapa perasaan ini harus ada?” aku bertanya kepada-Mu. Aku tak paham apa arti ini semua. Aku tak ingin terbelenggu tapi rasa itu melilit pikiran hatiku. Aku tak ingin hanyut, tapi arus cinta ini telah menjadi gelombang yang membawaku timbul tenggelam,
Saat aku ingin pura-pura tidak pernah ada dalam hal ini, dia demikian kuat mengalahkan sikap pura-puraku hingga aku kembali bertanya, “Ya Allah, mengapa rasa itu harus ada? Mengapa harus begini saat jatuh cinta? Apa aku tidak boleh memilih cinta yang mengindahkan semata? Di mana saat aku butuh, dia ada, saat aku rindu, dia sedia mengulur nada-nada pembicaraannya yang lembut?" Aku teriakkan pertanyaan itu di lereng-lereng gunung, di kawah-kawah yang dingin bergulung asap belerang. Dan bila kelelahan itu datang, aku bisikkan pertanyaan itu di hamparan sajadah untukku menemukan jawabannya.
Tetapi pertanyaan itu berampung berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun seperti gabus di hampaan laut yang luas.
Aku mencarimu untuk jawaban itu. Mungkin ini adalah pelajaran berat yang sering disebut cinta adalah perjuangan.
Kini engkau jadi alasan kenapa bait doaku kian bertambah panjang, mengapa sikapku kian pendiam, mengapa kelakuanku kian berubah. Semua hanya karena aku percaya jika di sini aku berubah lebih baik maka di sana Allah mengarahkanmu kepada lebih baik.
Tidak ada rasa peduli siapa pun engkau dan bagaimana terkesimanya aku terhadap wajahmu. Namun, aku selalu berharap dirimu menjadi alasan mengapa aku berada di surganya kelak saat aku menemui tuhanku.
Buatmu yang masih misterius di ingatanku. Jangan dalami hidupmu dengan gelisah yang sama sepertiku karena engkau belum sempat menatap dalamnya cinta di bola mataku. Jangan resah apalagi harus bertanya sepertiku karena jika engkau tulang rusukku, maka aku tidak akan menaruhmu di tulang punggungku.
Untukmu wanita misterius, aku menitip salam lewat rintihan hujan dan kesenjaan waktu. Aku bercerita tentangmu kepada Tuhan kita dan aku menulismu di tiap lembaran halaman buku catatan harianku.
Semoga engau lebih baik sebelum dipertemukan denganku dalam sebuah munajat cinta yang ingin dihalalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H