Kontestasi pemilihan umum dalam hitungan hari akan digelar. Semarak pesta demokrasi lima tahunan ini kembali akan dihadapi masyarakat Indonesia yang sudah memiliki hak untuk memilih di bilik suara. Sebagaimana jadwal yang sudah ditetapkan oleh komisi pemilihan umum (KPU) yaitu tanggal 14 Februari 2024, pemilih bisa menyalurkan hak pilihnya untuk lima kategori.
Di antaranya surat suara Presiden dan Wakil Presiden berwarna abu-abu, surat suara anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berwarna merah, surat suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berwarna kuning, surat suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Provinsi berwarna biru, dan surat suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Kabupaten/Kota berwarna hijau. Itulah saatnya para pemilih bisa turut menentukan masa depan bangsa lima tahun ke depan kepada yang dipilih.
Berebut Suara di Pulau Jawa
Berdasarkan informasi resmi dari Komisi Pemilihan Umum, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 (dua ratus empat juta delapan ratus tujuh ribu dua ratus dua puluh dua) pemilih. Bila dipilah berdasarkan segmentasi wilayah, pemilih di enam provinsi di Pulau Jawa mencapai 56,33 persen dari total pemilih nasional di 38 provinsi.
Rinciannya, pemilih di Jawa Barat 35.714.901 pemilih, Jawa Timur 31.402.838, Jawa Tengah 28.289.413, Banten 8.842.646, DKI Jakarta 8.252.897, dan DI Yogyakarta 2.870.974. Bahkan, Jabar, Jatim, Jateng, dan Banten menduduki peringkat lima besar jumlah pemilih terbanyak. Provinsi di luar Pulau Jawa yang memiliki jumlah pemilih masuk lima besar adalah Sumatera Utara dengan 10.853.940 pemilih. Prosentase 56,33 persen di Pulau Jawa ini menyebabkan para kandidat Capres dan Cawapres beserta Tim suksesnya berebut suara dan menjadikan perebutan suara di pulau ini sebagai medan pertempuran elektoral paling berharga (battle ground).
Sejarah mencatat pemenang pemilu presiden memang selalu mendominasi atau setidaknya menjadi pemenang suara di pulau Jawa, setidaknya pasca era reformasi yang memberikan angin segar kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan hak pilihnya secara demokratis. Pada Pilpres 2014, 78.280.208 suara di Jawa diperebutkan. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla meraup 51,9 persen di pulau Jawa. Ia pun keluar sebagai pemenang dengan total perolehan suara nasional sebesar 53,15 persen. Lima tahun berikutnya, total suara yang diperebutkan di Pulau Jawa menembus 88.611.264 suara. Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin mampu merengkuh 57,87 persen dan memastikan kemenangan di Pilpres 2019 dengan prosentase nasional 55,50 persen.
Kini, sebanyak 115 juta lebih suara di Pulau Jawa akan diperebutkan, sehingga kontestasi pemilu akan semakin menarik. Sistem one man one vote (satu orang satu suara) yang digunakan pada Pemilu, semakin menjadikan Jawa sebagai wilayah penentu kemenangan peserta Pemilu bagi kandidat maupun partai politik. Jawa menjadi basis dan wilayah tarung utama, dalam mendulang suara sebanyak mungkin.
Ujian Independensi
Politik elektoral di pulau Jawa memang menjadi primadona bagi kalangan elit partai politik maupun para kontestan pilpres. Berbagai upaya mereka lakukan untuk bisa menarik suara, melalui jalur darat maupun udara. Dari mulai menggaet musisi ternama tanah air dalam kegiatan kampanye akbar untuk menarik animo dalam jumlah besar dari para fans grup band tersebut, hingga strategi mengajak para influencer yang memiliki jutaan pengikut di media sosial untuk memengaruhi preferensi pilihan generasi muda melalui konten-konten yang viral.
Cara-cara tersebut tentu tidaklah salah bilamana substansi politiknya untuk tujuan kepentingan mengentaskan masalah sosial di masyarakat; seperti kemiskinan, penggangguran, ketimpangan. Namun bilamana tujuannya hanya untuk gimmik politik agar menjadi viral di media sosial, atau menyalahgunakan wewenang hanya untuk kepentingan golongan seperti penyaluran bansos di wilayah yang dianggap rendah tingkat elektabilitasnya, maka cara seperti demikian sama saja seperti memanfaatkan penderitaan rakyat untuk ambisi politik.
Para pejabat publik maupun tokoh masyarakat menjadi harapan untuk mewujudkan politik kerakyatan, bukan semata-mata politik elektoral. Dalam konteks wilayah di pulau Jawa, ada enam pejabat gubernur provinsi yang diharapkan mampu menjaga independensi dan netralitas. Akan tetapi, ironisnya mereka justru tergabung dalam tim sukses maupun tim kampanye kontestan pilpres. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh politik balas budi, bahkan tidak sedikit yang disebabkan karena tersandera oleh kesalahan atau kejahatan masa lalu.Â