Mohon tunggu...
Jamal Arifansyah
Jamal Arifansyah Mohon Tunggu... Guru - Akademisi Magister Ilmu Sosial. Pengajar Sosiologi.

Pemerhati Isu Sosial-Budaya dan Politik-Hukum Indonesia. Senang Membaca berita dan Menulis esai. Penggemar Sepakbola ala Eropa. Pengagum Mahfud MD dan Gus Baha. Pecinta kuliner Indonesia 🇮🇩

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dominasi Jawa dan Politik Kaum Tersandera; Mungkinkah Pilpres Satu Putaran?

10 Februari 2024   11:32 Diperbarui: 10 Februari 2024   19:22 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kontestasi pemilihan umum dalam hitungan hari akan digelar. Semarak pesta demokrasi lima tahunan ini kembali akan dihadapi masyarakat Indonesia yang sudah memiliki hak untuk memilih di bilik suara. Sebagaimana jadwal yang sudah ditetapkan oleh komisi pemilihan umum (KPU) yaitu tanggal 14 Februari 2024, pemilih bisa menyalurkan hak pilihnya untuk lima kategori.

Di antaranya surat suara Presiden dan Wakil Presiden berwarna abu-abu, surat suara anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berwarna merah, surat suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berwarna kuning, surat suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Provinsi berwarna biru, dan surat suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Kabupaten/Kota berwarna hijau. Itulah saatnya para pemilih bisa turut menentukan masa depan bangsa lima tahun ke depan kepada yang dipilih.

Berebut Suara di Pulau Jawa

Berdasarkan informasi resmi dari Komisi Pemilihan Umum, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 (dua ratus empat juta delapan ratus tujuh ribu dua ratus dua puluh dua) pemilih. Bila dipilah berdasarkan segmentasi wilayah, pemilih di enam provinsi di Pulau Jawa mencapai 56,33 persen dari total pemilih nasional di 38 provinsi.

Rinciannya, pemilih di Jawa Barat 35.714.901 pemilih, Jawa Timur 31.402.838, Jawa Tengah 28.289.413, Banten 8.842.646, DKI Jakarta 8.252.897, dan DI Yogyakarta 2.870.974. Bahkan, Jabar, Jatim, Jateng, dan Banten menduduki peringkat lima besar jumlah pemilih terbanyak. Provinsi di luar Pulau Jawa yang memiliki jumlah pemilih masuk lima besar adalah Sumatera Utara dengan 10.853.940 pemilih. Prosentase 56,33 persen di Pulau Jawa ini menyebabkan para kandidat Capres dan Cawapres beserta Tim suksesnya berebut suara dan menjadikan perebutan suara di pulau ini sebagai medan pertempuran elektoral paling berharga (battle ground).

Sejarah mencatat pemenang pemilu presiden memang selalu mendominasi atau setidaknya menjadi pemenang suara di pulau Jawa, setidaknya pasca era reformasi yang memberikan angin segar kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan hak pilihnya secara demokratis. Pada Pilpres 2014, 78.280.208 suara di Jawa diperebutkan. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla meraup 51,9 persen di pulau Jawa. Ia pun keluar sebagai pemenang dengan total perolehan suara nasional sebesar 53,15 persen. Lima tahun berikutnya, total suara yang diperebutkan di Pulau Jawa menembus 88.611.264 suara. Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin mampu merengkuh 57,87 persen dan memastikan kemenangan di Pilpres 2019 dengan prosentase nasional 55,50 persen.

Kini, sebanyak 115 juta lebih suara di Pulau Jawa akan diperebutkan, sehingga kontestasi pemilu akan semakin menarik. Sistem one man one vote (satu orang satu suara) yang digunakan pada Pemilu, semakin menjadikan Jawa sebagai wilayah penentu kemenangan peserta Pemilu bagi kandidat maupun partai politik. Jawa menjadi basis dan wilayah tarung utama, dalam mendulang suara sebanyak mungkin.

Ujian Independensi

Politik elektoral di pulau Jawa memang menjadi primadona bagi kalangan elit partai politik maupun para kontestan pilpres. Berbagai upaya mereka lakukan untuk bisa menarik suara, melalui jalur darat maupun udara. Dari mulai menggaet musisi ternama tanah air dalam kegiatan kampanye akbar untuk menarik animo dalam jumlah besar dari para fans grup band tersebut, hingga strategi mengajak para influencer yang memiliki jutaan pengikut di media sosial untuk memengaruhi preferensi pilihan generasi muda melalui konten-konten yang viral.

Cara-cara tersebut tentu tidaklah salah bilamana substansi politiknya untuk tujuan kepentingan mengentaskan masalah sosial di masyarakat; seperti kemiskinan, penggangguran, ketimpangan. Namun bilamana tujuannya hanya untuk gimmik politik agar menjadi viral di media sosial, atau menyalahgunakan wewenang hanya untuk kepentingan golongan seperti penyaluran bansos di wilayah yang dianggap rendah tingkat elektabilitasnya, maka cara seperti demikian sama saja seperti memanfaatkan penderitaan rakyat untuk ambisi politik.

Para pejabat publik maupun tokoh masyarakat menjadi harapan untuk mewujudkan politik kerakyatan, bukan semata-mata politik elektoral. Dalam konteks wilayah di pulau Jawa, ada enam pejabat gubernur provinsi yang diharapkan mampu menjaga independensi dan netralitas. Akan tetapi, ironisnya mereka justru tergabung dalam tim sukses maupun tim kampanye kontestan pilpres. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh politik balas budi, bahkan tidak sedikit yang disebabkan karena tersandera oleh kesalahan atau kejahatan masa lalu. 

Inkonsistensi karena tersandera

Dalam politik, ada istilah yang familiar kita dengar yaitu "lidah tak bertulang". Ungkapan tersebut merupakan gambaran bahwa para politisi sering kali tidak mampu menjaga konsistensi dari ucapan maupun sikapnya. Dalam satu waktu, pandangan maupun sikapnya seolah menggambarkan bahwa ia adalah tokoh pembawa angin segar demokratisasi, namun di waktu yang lain ia bisa berbalik menjadi pendukung nepotisme dan politik dinasti. Pada satu kesempatan ia menyatakan tekadnya memberantas korupsi dengan transparansi, namun di kesempatan yang lain ia justru secara terbuka melakukan politisasi bantuan sosial demi ambisi pribadi. Demikian lah realitas politik yang terjadi.

Inkonsistensi seperti demikian yang menyebabkan banyak pihak-pihak begitu mudah tersandera oleh ke-tidak konsistenan dari sikap maupun kebijakan politik yang dibuat. Kemerdekaan mereka dalam menyuarakan ide dan gagasannya menjadi terpasung. Sebagaimana cuitan dari twit Mahfud MD di akun X nya, yang berbunyi "Selama engkau tidak bicara maka engkau bisa menguasai dan mengawasi pembicaraanmu, tetapi begitu engkau bicara maka engkau dan kemerdekaanmu akan dikuasai oleh ucapanmu". Mereka tersandera oleh kesalahan masa lalu sehingga hal tersebut menjadi "kartu truf" bagi pihak-pihak yang mengetahui konspirasi tersebut. Celakanya hal tersebut juga digunakan untuk kepentingan elektoral dengan cara menjerat dan memaksa agar memberikan dukungan.

Dalam konteks dinamika politik saat ini, beberapa contoh inkonsistensi yang ditengarai akibat dari sandera politik bisa kita temukan. Setidaknya tokoh pejabat wilayah Jawa Timur, dan Jawa Barat menjadi contohnya. Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat, sebelumnya menyatakan dalam wawancara di kanal media podcast bahwa kita jangan memilih pemimpin nasional hanya karena faktor usia, meskipun muda namun bila track recordnya belum teruji, apalagi ikut kontestasi pemilu karena nepotisme dan dinasti politik keluarga maka yang seperti itu tidak layak dipilih. Namun yang terjadi saat ini, justru ia menjadi ketua tim kampanye daerah (TKD) wilayah Jawa Barat untuk pasangan calon yang justru sebelumnya ia kritisi proses social elevator nya dan bahkan tidak ia dukung.

Demikian pula dengan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur yang saat ini masih aktif menjabat. Ia tersandera oleh kasus suap dana hibah yang melibatkan tersangka wakil ketua DPRD Jawa Timur. Berdasarkan penggeledaahan dan hasil penyidikan oleh pihak KPK, ternyata dana hibah tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur sehingga diduga kuat dalam proses perencanaan penganggaran melibatkan pejabat di lingkungan eksekutif dan legislatif. Akibat sandera politik tersebut, dan tentunya misi untuk mendapatkan dukungan partai politik untuk meraih tiket berlaga kembali menjadi gubernur periode kedua, akhirnya Khofifah juga menjadi tim sukses pemenangan salah satu kontestan untuk wilayah Jawa Timur.

Membendung kecurangan Pemilu 

Dinamika politik memang tidak bisa dilepaskan dari potensi inkonsistensi dan berbagai intrik. Hal ini menyebabkan sulitnya masyarakat menemukan tokoh publik yang bisa menjadi contoh dalam menjaga integritas dan independensi dalam menyatakan sikap dan kebijakan. Ironisnya hal ini juga menjadi sebab para politisi, pejabat publik, maupun tokoh profesional menjadi tersandera dan dimanfaatkan oleh segelintir elit politik untuk kepentingan elektoral mereka.

Fenomena politik tersebut akhirnya dijadikan argumentasi oleh kalangan elit partai politik yang tergabung dalam koalisi di pemerintahan untuk menyuarakan pemilu satu putaran. Dalih efisiensi anggaran dijadikan sebagai alasan tambahan sebagai pembenarnya. Bagi kelompok mereka, berbagai cara dilakukan, jalur darat maupun udara. Para pejabat struktural daerah yang memiliki koneksi dengan pemerintah, "dikerahkan". Intimidasi oleh oknum aparat dilakukan kepada tim kampanye pihak lawan, atau melalui penggiringan opini oleh hasil survei Lembaga survei yang tidak mampu menjaga independensinya.

Misi Pemilu satu putaran melalui intimidasi, sandera politik, maupun pelanggaran etika menimbulkan reaksi keras di masyarakat, terutama dari para cendekiawan. Para Asosiasi Guru Besar dari berbagai universitas berharap tidak terjadi penurunan kualitas demokrasi. Mereka menyerukan pemilu damai dan tidak boleh ada penyalahgunaan kekuasaan hanya untuk kepentingan elektoral segelintir orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun