Mendengar kata Babel, singkatan dari Bangka Belitung semua orang terbayang deretan pantai berpasir putih, air laut yang berwarna biru dan tosca serta batuan granit yang besar menawan. Menengok sisi lain keindahan pulau Bangka sungguh menarik. Membuat saya ingin berlama-lama tinggal disana.
Mendarat di Bandar udara Depati Amir setelah menempuh keberangkatan dari bandara Adisucipto dan bersinggah sementara di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II untuk transit membuat saya sangat lega, akhirnya menginjakkan untuk pertama kali di pulau yang katanya eksotis ini.
Matahari mulai tertutup awan sore itu, bahkan beberapa lokasi di Sungailiat terguyur hujan. Beruntung tak sampai sejam hujan sudah mereda, diganti oleh semburat jingga yang menggugah hasrat mengeluarkan kamera. Tongaci, nama sebuah pantai di Sungaliat yang cukup terkenal, hanya berjarak kurang dari 3km dari Sutos Guest House. Segera aku bergegas kesana karena berbarengan dengan acara Bangka Culture Wave Festival saat itu. Ternyata aku salah, pantai Tongaci menghadap ke timur sehingga tidak didapatkan foto sunset disana.Â
Di sisi lain aku sangat diuntungkan oleh beberapa acara Bangka Wave Culture Festival yang cukup menarik sore itu. Body painting dengan model-model cantik, instalasi seni berupa payung warna-warni, dan berbagai patung sudah menghiasi keseluruhan venue di pinggiran pantai Tongaci. Lumayan sebagai pengganti kekecewaan atas kesalahanku yang kurang referensi atas  pantai Tongaci.
Matahari masih berada tak begitu tinggi di sisi timur, sedikit mengganggu foto landscape karena sinarnya yang terik. Memang alangkah baiknya ke pantai ini pagi-pagi menikmati sunrise, atau sore hari ketika matahari menjauh kea rah berlawanan bibir pantai. Puas berfoto, sebutir kelapa muda segar melepas dahaga, melegakan tenggorokan yang sudah sejak tadi meronta kehausan.Â
Meninggalkan pantai Penyusuk menyusuri jalanan dengan penuh ilalang. Satu hal yang sangat menarik di mata fotografi bagiku, beberapa deret pohon cengkeh yang kering terbakar namun berwarna keabu-abuan di hamparan ilalang putih dan rerumputan hijau sangat indah untuk dituangkan dalam sebuah seni foto. Yap, aku mengambil beberapa foto disana. Keren sekali.Â
Namun tak hanya eksotisme alam yang luar biasa yang dihadirkan di kecamatan Belinyu ini. Di pusat kecamatan terderet beberapa bangunan tua khas pecinan. Memang benar, di Belinyu ini mayoritas masyarakat Tionghoa cukup mendominasi. Saya sempatkan berhenti sejenak untuk mengambil beberapa foto. Ingin rasanya sejenak bersilaturahmi dan berbincang santai dengan salah satu penghuni rumah, namun tampaknya sedang beristirahat siang sehingga niat itupun aku urungkan.Â
Menaiki satu batuan granit besar di sisi tengah bibir pantai bisa memandang hampir keseluruhan pantai. Hamparan pasir putihnya yang luas, biru kehijauan air laut mengundang hasrat untuk menceburkan diri, namun sayang sekali aku tidak mempersiapkan baju ganti. Lepas dari itu, aku sudah sangat terpuaskan oleh landscape fotografi yang aku dapatkan di pantai yang sangat eksotis ini.
Dan ternyata salah, nama EMAS diambil dari singkatan Eko Maulana Ali Soeharso, nama mantan Gubernur Bangka Belitung. Jembatan sepanjang 785 meter, dengan lebar 23 meter, membentang di atas aliran Sungai Pangkal Balam, wilayah Ketapang, Pangkalpinang. Jembatan ini akan membuka tutup jika ada lalu lintas kapal besar yang melewati sungai Pangkal Balam. Indah sekali untuk diabadikan. Diatas jembatan ini pula kita bisa menikmati keindahan alam pantai Air Anyir dibawahnya. Jembatan yang menjadi ikon baru di pulau Bangka ini menjadi kebanggan warga masyarakat disana.
Perjalanan yang sangat eksotis dan penuh dengan pengalaman baru. Aku putuskan tahun depan untuk kembali lagi ke pulau Bangka, menikmati keindahan yang belum sepenuhnya aku susuri. Terimakasih Bangka, nantikan aku kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H