Mohon tunggu...
Jaludieko Pramono
Jaludieko Pramono Mohon Tunggu... -

Wong kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bandar Porong, Masyur Hingga Negri China

11 Agustus 2013   16:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:26 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Roda Jaman Sidoarjo (Bag. 2)

Oleh : Jaludieko Pramono

Pembelahan kerajaan Kahuripan bukan saja mengubah wajah Jawa secara geografis, tapi juga geopolitik dan ekonomi. Pada awalnya, kerajaan di Jawa umumnya bersifat agraris dan berada di lereng-lereng gunung. Segala aktifitas pemerintahan banyak dilakukan di sana.

Kondisi ini berbeda dengan Kerajaan Jenggala yang memiliki kekuatan di sektor ekonomi karena bandar dagang Sungai Porong masuk dalam wilayah kekuasannya. Keberadaan bandar dagang ini secara tidak langsung memindahkan pola kerajaan gunung menjadi kerajaan pantai. Sekaligus mengubah budaya agraris dengan budaya merkantilis (perdagangan).

Keuntungan itulah yang membuat Kerajaan Jenggala tumbuh pesat. Keberadaan bandar dagang di Sungai Porong memberikan income yang besar bagi negara. Selain itu juga membuat Jenggala lebih dikenal oleh manca Negara karena Bandar dagang peninggalan Airlangga ini.

Berdasarkan catatan kerajaan China, Jenggolo adalah Bandar dagang kedua terbesar dan ramai setelah Sriwijaya. Kata Jenggolo dipercaya berasal dari ucapan salah untuk Ujung Galuh. Walaupun saat ini Ujung Galuh lebih diasosiasikan suatu tempat di Surabaya atau Tuban.

Tetapi untuk hubungan kalimat Jenggala dengan Ujung Galuh bisa dilihat dari catatan Pedagang China yang menuliskan Jenggala dengan Jung-ga-luh. Misalnya pedagang Chou Ku Fei yang datang pada tahun 982 Saka (1060 M) menuliskan: Negara asing yang merupakan lumbung padi terbesar saat itu adalah Jung-ga-luh (Jenggala) dan San-fo-tsi (Sriwijaya).

Chou Ku Fei, menuliskan kondisi subur tanah Jung-galuh (Jenggala) yang banyak dikelilingi sungai-sungai besar yang tembus sampai ke gunung Pau-lain-an (Penanggungan). Sedangkan Bandar dagang di Porong banyak didatangi oleh para pedagang dari Cina, Arika, Thailand, Ta-shi (Arab) yang mengimpor beras, kayu Cendana, Kayu Gaharu dan bunga-bunga kering seperti Kenanga dan Melati.

Sementara itu pedagang China lainnya yang juga mencatat keberadaan Bandar dagang Porong adalah Chou Yu Kua. Disebutkannya Bandar dagang di Porong merupakan sebuah pelabuhan yang besar dengan pajak murah dan kantor-kantor dagang yang berjejer dengan suasana yang menyenangkan.

Kantor-kantor dagang itu mengurusi palawija, emas, gading, perak dan kerajinan tangan. Pusat perdagangan berada di tempat yang bernama Yeo-thong (Jedong, sekarang wilayah Ngoro).

Di belakangnya ada gunung dengan sembilan puncak yang selalu diselimuti kabut tebal. Gunung yang bernama Pau-lian-an (Penanggungan) itu menjadi pedoman navigasi kapal yang akan masuk pelabuhan Porong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun