Roda Jaman Sidoarjo (Bag. 2)
Oleh : Jaludieko Pramono
Pembelahan kerajaan Kahuripan bukan saja mengubah wajah Jawa secara geografis, tapi juga geopolitik dan ekonomi. Pada awalnya, kerajaan di Jawa umumnya bersifat agraris dan berada di lereng-lereng gunung. Segala aktifitas pemerintahan banyak dilakukan di sana.
Kondisi ini berbeda dengan Kerajaan Jenggala yang memiliki kekuatan di sektor ekonomi karena bandar dagang Sungai Porong masuk dalam wilayah kekuasannya. Keberadaan bandar dagang ini secara tidak langsung memindahkan pola kerajaan gunung menjadi kerajaan pantai. Sekaligus mengubah budaya agraris dengan budaya merkantilis (perdagangan).
Keuntungan itulah yang membuat Kerajaan Jenggala tumbuh pesat. Keberadaan bandar dagang di Sungai Porong memberikan income yang besar bagi negara. Selain itu juga membuat Jenggala lebih dikenal oleh manca Negara karena Bandar dagang peninggalan Airlangga ini.
Berdasarkan catatan kerajaan China, Jenggolo adalah Bandar dagang kedua terbesar dan ramai setelah Sriwijaya. Kata Jenggolo dipercaya berasal dari ucapan salah untuk Ujung Galuh. Walaupun saat ini Ujung Galuh lebih diasosiasikan suatu tempat di Surabaya atau Tuban.
Tetapi untuk hubungan kalimat Jenggala dengan Ujung Galuh bisa dilihat dari catatan Pedagang China yang menuliskan Jenggala dengan Jung-ga-luh. Misalnya pedagang Chou Ku Fei yang datang pada tahun 982 Saka (1060 M) menuliskan: Negara asing yang merupakan lumbung padi terbesar saat itu adalah Jung-ga-luh (Jenggala) dan San-fo-tsi (Sriwijaya).
Chou Ku Fei, menuliskan kondisi subur tanah Jung-galuh (Jenggala) yang banyak dikelilingi sungai-sungai besar yang tembus sampai ke gunung Pau-lain-an (Penanggungan). Sedangkan Bandar dagang di Porong banyak didatangi oleh para pedagang dari Cina, Arika, Thailand, Ta-shi (Arab) yang mengimpor beras, kayu Cendana, Kayu Gaharu dan bunga-bunga kering seperti Kenanga dan Melati.
Sementara itu pedagang China lainnya yang juga mencatat keberadaan Bandar dagang Porong adalah Chou Yu Kua. Disebutkannya Bandar dagang di Porong merupakan sebuah pelabuhan yang besar dengan pajak murah dan kantor-kantor dagang yang berjejer dengan suasana yang menyenangkan.
Kantor-kantor dagang itu mengurusi palawija, emas, gading, perak dan kerajinan tangan. Pusat perdagangan berada di tempat yang bernama Yeo-thong (Jedong, sekarang wilayah Ngoro).
Di belakangnya ada gunung dengan sembilan puncak yang selalu diselimuti kabut tebal. Gunung yang bernama Pau-lian-an (Penanggungan) itu menjadi pedoman navigasi kapal yang akan masuk pelabuhan Porong.
Sejak saat itulah Kali Porong dikenal sebagai bandar perdagangan terbesar di ujung timur pulau Jawa. Para pedagang dari China, Arab dan negeri-negeri lainnya datang untuk berdagang disana. Bagaimana sekarang ? (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H