Saya termasuk salah seorang yang tidak percaya bahwa Indonesia akan menjadi sebuah negara maju. Lah bagaimana mau maju, hampir semua elemen bangsa ini hanya berpikir tentang dirinya, golongannya sendiri. Kita bisa tengok apa yang tersaji di media massa. Kita juga bisa lihat bagaimana mentalitas bangsa ini di jalan raya. Semuanya ingin menang sendiri. Sebuah bangsa hanya akan menjadi maju jika rakyatnya mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Ini tidak dimiliki oleh mayoritas bangsa Indonesia. Begitu pikirku selama ini. Hanya saja dua hari yang lalu, saya menyadari ternyata masih ada orang baik di negeri ini. Orang baik yang mungkin saja menjadi sebab bangkitnya bangsa ini dari keterbelakangan.
Ia bukanlah seorang pejabat, bukan pula seorang hartawan. Ia hanyalah seorang rakyat biasa. Yang mencari rejeki dari pengunjung Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan berjualan mi rebus. Ia menyadarkan saya bahwa di negeri ini tidak semua harus diukur dengan uang. Tidak semua kebaikan itu harus ditukar dengan segepok rupiah. Semua itu ia tuturkan dalam perilaku dan bahasa yang sederhana saja, seperti dialog berikut ini.
Saya : Pak, saya bisa membeli air panas?Tukang mi : Boleh, boleh (sambil bangun dari bangku panjang)
Saya : Ini termosnya Pak.
Ia pun mengisi termos saya dengan air panas dari termos miliknya, yang saya tahu digunakan untuk membuat kopi atau teh panas bagi pelanggannya.
Saya : (Setelah ia selesai mengisi) Berapa Pak?
Tukang mi : Ah, berapa saja Pak.
Saya pun mengambil uang di saku, menghitung dan menggenapkannya lima ribu rupiah. Kemudian saya serahkan uang tersebut ke tukang mi.
Tukang mi : Maaf Pak, terlalu banyak.
Saya pun mengambil dua ribu dan mencoba kembali menyerahkan sisanya.
Tukang mi : Maaf Pak, masih terlalu banyak.
Ia kemudian mengambil uang seribu rupiah di tangan saya dan mengembalikan sisanya.
Tukang mi : Seribu saja Pak, ini sudah cukup.
Saya tersentak, tidak menyangka sikapnya akan demikian. Saya pun mengucapkan terima kasih dan mohon pamit.
Saat itu, saya mencari air panas yang akan saya gunakan untuk mencuci botol minum anak saya yang sedang dirawat. Saat itu, air panas merupakan kebutuhan. Untuk itu saya rela mengeluarkan uang lima ribu rupiah sebagai ucapan terima kasih. Namun tidak demikian dengan si tukang mi. Ia menganggapnya sebagai sebuah transaksi jual-beli dan menganggap bahwa harga yang pantas untuk air panas adalah seribu rupiah. Ia tidak lantas mengambil kesempatan dalam kesempitan orang lain.
Orang seperti tukang mi itu adalah orang baik, yang langka di bumi Indonesia ini. Karenanya, sepanjang perjalanan kembali ke rumah sakit, saya berdoa agar ia mendapatkan rejeki yang berkah. Baginya dan bagi keluarganya. Setelah di rumah sakit pun, saya sampaikan kepada istri kisah ini. Dan memintanya juga untuk mendoakan kebaikan baginya.
Mungkin Anda mengira itu hanya kebetulan saja dan belum tentu tukang mi itu orang baik. Kalau begitu, Anda salah Bung. Keesokan harinya saat melintas di jalan yang sama, saya berpapasan dengannya. Ia pun masih mengingat saya dan memberikan sebuah senyuman hangat. Saya berpikir, ah indahnya dunia ini jika semua orang sepertinya. Orang sepertinya membuat kita yakin bahwa kita tidak hidup sendiri di dunia ini. Masih ada orang baik yang akan membantu saat kita perlu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H