Bayi malang itu kemudian dibawa ke rumah sakit rujukan yang memiliki tenaga medis dan peralatan lebih lengkap. Memang dilayani, tetapi antrenya hingga tiga bulan lamanya. Karena minimnya dokter bedah dan alat kesehatan, itu kata petugas rumah sakit.
"Sebenarnya, apa sih yang tidak kurang di negeri ini. Semuanya kok kurang, minim, dana dikit. Ada aja alasan untuk menghambat pemenuhan hak kepada masyarakat," kataku kesal mendengar cerita dari Zaenab.
"Itu bayi keburu mati kalau tidak segera ditangani. Apa pemerintah enggak mikir bagaimana menderitanya si bayi yang kesakitan karena salah operasi dan tidak punya anus. Memang sialan pemerintah negeri ini," kata tetangga yang juga kesal.
Hari berganti hari, pekan berganti pekan, belum ada kabar kapan Aziel mendapat giliran operasi. Zaenab dan suaminya pun hampir saja putus asa. Tapi, sinar mata Aziel menjadi daya perekat supaya kedua orang tuanya tetap bersabar.
Dengan kondisi seperti itu, pengeluaran keluarga miskin itu pun semakin membengkak. Karena selain harus memenuhi kebutuhan hidup harian, juga harus membeli kain kasa, diapers, hingga susu formula sebagai asupan sang bayi. Penghasilan suami Zaenab sebagai buruh serabutan pun tidak bisa memenuhinya.
Hingga akhirnya suami Zaenab memutuskan untuk bekerja di Malaysia, sebagai buruh kasar ilegal di proyek bangunan. Ia bersama belasan orang masuk ke negeri Jiran melalui jalur laut. Naik kepal kayu dan kelapa yang akan dijual di Malaysia. Â
Saat di perjalanan menuju Malaysia, terjadi badai yang sangat besar hingga membuat kapal tersebut terbalik dan karam. Seluruh penumpang dan awak kapal itu mati ditelan lautan. Jasadnya pun tidak ditemukan hingga sekarang.
Zaenab baru tahu suaminya mati dalam perjalanan ilegal itu tiga hari setelah kejadian. Itu pun diketahui dari siaran televisi yang memampang nama-nama korban kapal tenggelam. Wanita yang berusia tiga puluh tahun itu hanya bisa menangis sesunggukan dan berkali-kali pingsan.
Ia kemudian memutuskan untuk pulang ke kampung halaman di Jawa. Karena di perantauan sudah tidak ada keluarga lagi. Zaenab dan bayinya, Aziel, pulang kampung dengan perasaan luka di tanah rantau.
Setelah belasan tahun meninggalkan kampung halaman, akhirnya Zaenab akan kembali ke tanah lahir dan berjumpa dengan orang tuanya. Sebenarnya, ada beban yang harus ditanggung karena selama ini tidak pernah pulang dan memberi kabar orang-orang rumah.
Dalam hatinya terbersit ketakutan yang mendalam kalau keluarga tidak menerimanya. Namun, prasangka-prasangka buruk itu segera dihapus. Karena ada sosok bayi yang perlu segera mendapatkan pertolongan.