Ada sederet kebijakan tak populis dari pemerintah Jokowi-Ma'ruf yang dikeluarkan pada awal 2020. Kebijakan ini bukan semakin mensejahterakan, justru semakin menjerat rakyat.
Pertama, kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga 100% dari iuran semula.
Berdasarkan Pasal 34 Perpres Nomor 75 tahun 2019, iuran kelas III dari Rp25.000 menjadi Rp42.000, kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, dan kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp160.000.
Kebijakan yang dianggap memberatkan masyarakat ini pun bertubi-tubi mendapatkan protes dari masyarakat. Karena dengan adanya kenaikan iuran ini jelas sangat memberatkan masyarakat, terutama peserta mandiri. Keluhan terkait kenaikan iuran ini pun banyak diutarakan di media sosial.
Coba kita hitung sebagai contoh, dalam satu keluarga dengan 5 orang anggota. Keluarga ini merupakan peserta BPJS kelas II dengan iuran Rp110.000/bulan, jadi keluarga ini harus membayar premi setiap bulannya Rp550.000/bulan. Padahal sebelumnya, keluarga ini hanya mengeluarkan biaya untuk iuran BPJS senilai Rp255.000/bulan.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tidak berbanding lurus dengan kenaikan gaji karyawan setiap tahunnya. Di perusahaan swasta, kenaikan gaji setiap tahunnya hanya antara 5%-10%.
Kedua, rencana pencabutan subsidi listrik 900 VA. Ada sekitar 24 juta pelanggan listrik 900 VA. Sebenarnya pemerintah hendak mencabut subsidi untuk golongan pelanggan ini pada Januari 2020. Tetapi, saat ini belum dilakukan. Entah menunggu momen seperti apa yang diinginkan.
Tetapi, yang jelas pemerintah sudah ancang-ancang mencabut subsidi listrik 900 VA. Otomatis, pelanggan tersebut harus membayar dengan tarif normal.
Ketiga, pemerintah mulai tahun ini juga mencabut subsidi Public Service Obligation (PSO) untuk lima kereta api. Lima KA tersebut adalah KA Logawa relasi Purwokerto-Jember, KA Brantas relasi Blitar-Pasarsenen, KA Pasundan relasi Surabaya Gubeng-Kiaracondong, KA Gaya Baru Malam Selatan relasi Surabaya Gubeng-Pasarsenen, dan KA Matarmaja relasi Malang-Pasarsenen.
Pencabutan subsidi KA ini tentu sangat dirasakan bagi warga yang memang kerap bepergian menggunakan KA. Tarif lima kereta tersebut kini berlaku normal, semisal KA Logawa yang biasanya hanya Rp70.000 kini tarif paling murah untuk kelas ekonomi Rp125.000.
Keempat, pemerintah berencana mencabut subsidi elpiji 3 kg dan harganya bisa mencapai Rp35.00/tabung. Rencana ini pun mendapatkan keluhan dan penolakan dari berbagai pihak. Pemerintah berdalih subsidi elpiji 3 kg ini akan diberikan dengan system tertutup. Yaitu subsidi akan diberikan kepada yang benar-benar membutuhkan.
Kelima, pemerintah juga mengurangi kuota pupuk bersubsidi bagi petani mulai 2020. Bahkan pengurangannya bisa mencapai 50%. Saya beberapa waktu lalu berbincang dengan Kabid Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Madiun, Imron Rasidi.
Imron menyampaikan bahwa kuota pupuk bersubsidi di Kabupaten Madiun mengalami pengurangan hingga 50%. Ia mencontohkan semisal pupuk urea yang semula 270 kg/hektare/tahun, kini hanya mendapatkan 110 kg/hektare/tahun. Padahal, pupuk bersubsidi ini sangat dibutuhkan petani karena bisa mengurangi ongkos tanam.
Coba bayangkan, kalau petani kesulitan modal karena harus membeli pupuk non-subsidi. Karena tidak bisa membeli pupuk, akhirnya tanaman padi hanya dirawat serampangan. Tanaman padi rusak dan akibatnya gagal panen.
Setelah gagal panen, siapa yang rugi? Petani. Cita-cita pemerintah swasembada pangan pun hanya slogan belaka. Kesejahteraan petani pun semakin jauh, karena hasil panen tidak sesuai target.
Keenam, mulai 1 Januari 2020 pemerintah secara resmi telah menaikkan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran naik 35%. Dampak dari kebijakan ini ya otomatis harga rokok jadi naik. Kenaikan paling tinggi ada di Marlboro dari Rp25.000 kini menjadi Rp31.000.
Pak Presiden yang terhormat. Tolong cermati lagi saat mau mengambil keputusan dengan mencabut subsidi. Karena pencabutan subsidi juga akan berdampak pada kenaikan inflasi sehingga membuat stabilitas perekonomian nasional juga terdampak.
Kenapa sih pemerintah seolah tidak senang rakyatnya "sedikit" sejahtera dengan menikmati barang-barang yang disubsidi. Toh uang subsidi itu kan dari APBN yang sumbernya dari keringat rakyat, dari pajak rakyat. Apa yang boleh menikmati uang negara hanya pemerintah beserta jajarannya saja?
Memang benar, subsidi itu untuk kalangan kurang mampu. Tetapi, kalau fasilitas subsidi itu secara serentak dicabut dan iuran fasilitas kesehatan dinaikkan apa itu tidak menjerat leher rakyat?
Kalau kebijakannya seperti itu ya bisa saja golongan yang awalnya dikategorikan sebagai kelas menengah bisa turun jadi kelas miskin. Karena dampaknya jelas, satu subsidi dicabut akan berdampak pada barang kebutuhan yang lain.
Satu contoh, gas elpiji 3 kg naik Rp35.000 dari sebelumnya Rp18.000. warung-warung makan yang sebelumnya harga seporsi makan pake telor Rp15.000, karena ada kenaikan gas elpiji kini harga seporsi makan naik Rp20.000. Ini belum dampak harga beras naik karena pupuk subsidi dicabut yang mengakibatkan ongkos produksi pertanian juga naik. Dampaknya ya jelas beras akan naik harga.
Sebagai rakyat kecil, saya hanya bisa mengeluh lewat tulisan. Karena mau curhat di telinganya Presiden secara langsung pasti sulit, karena ada sederet paspampres.
Ini baru tahun pertama kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf, masih ada empat tahun lagi. Semoga Pak Presiden yang berlatar belakang dari orang kebanyakan bisa memikirkan nasib rakyat kebanyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H